Artikel 11: "Manfaat Curhat Bagi Kesehatan Mental"

260 82 7
                                    

"SAN? Lo masih nggak mau cerita?"

Suara Satya terdengar jelas sekalipun aku tengah menyembunyikan diri di balik selimut. Ya, setelah membuka mata tadi, aku tahu Satya yang menolongku. Bahkan dia juga yang membawaku ke kamar dan menungguiku hingga kembali sadar. Aku tahu, harusnya aku tidak mengabaikan Satya. Harusnya aku menjawab pertanyaannya. Hanya saja saat ini aku tak tahu harus mulai dari mana, dan yang bisa kulakukan hanyalah bersembunyi dan berharap semoga pagi cepat datang.

Ya Tuhan.... Kenapa jadi begini?

Dalam keheningan, samar kudengar suara helaan napas panjang, disusul bunyi langkah menjauh mengarah ke pintu. Tak lama terdengar bunyi pintu kamar dibuka, kemudian ditutup perlahan. Ah, sepertinya Satya sudah kehabisan kesabaran dan akhirnya pergi. Baguslah. Setidaknya kini aku punya waktu untuk berpikir tanpa harus diganggu dengan pertanyaan-pertanyaan konyol darinya.

Selama beberapa waktu tak ada bunyi lain di ruangan ini selain detak jam dinding, dan suara kaca jendela yang bergetar pelan karena ditiup angin. Setelah yakin kalau aku betul-betul sendirian, barulah aku menyingkap selimut dan mengembuskan napas panjang.

Pikiranku kosong.

Selama beberapa waktu yang bisa kulakukan hanya berbaring telentang sambil menatap hampa langit-langit kamar, sementara sisa-sisa logika jurnalisku bekerja keras untuk menganalisis apa yang sudah terjadi selama beberapa hari ini.

Namun, gagal.

Sekeras apa pun aku mencoba memikirkan semua, sekeras apa pun aku mencoba menghubungkan semua kejadian aneh yang terjadi selama beberapa hari ini, tetap saja rasanya semua ini tak masuk akal. Sama sekali tidak masuk dalam nalarku. Kenyataan itu membuatku frustrasi.

Hufth.

Aku mengembuskan napas lelah dan menutup wajah dengan kedua tangan. Lama berdiam di posisi itu, akhirnya aku kembali menggulingkan tubuh dan meringkuk—mencoba untuk tidur. Saat ini aku betul-betul tak peduli dengan hal lainnya. Aku bahkan tak mau repot-repot memikirkan apakah pintu kamarku sudah terkunci atau belum. Sungguh, bodo amat dengan semua itu! Aku hanya ingin malam ini cepat berlalu, dan pagi nanti semua ini terasa hanya bagian dari mimpi buruk. Itu saja!

Baru saja akan kembali memejamkan mata, pendengaranku yang mendadak super sensitif ini menangkap suara langkah kaki di koridor. Tap, tap. Persis seperti yang terjadi beberapa hari lalu. Seketika aku menahan napas. Punggungku terasa dingin saat menyadari kalau langkah kaki itu berhenti di depan kamarku.

Apa itu... Pieter?

Aku terkesiap, dan langsung membekap mulutku sendiri.

Nggak....

NGGAK!

Panik, aku mencoba menyembunyikan diri lagi di balik selimut sambil menutup kedua telingaku dengan tangan dan memejamkan mata erat-erat. Sepenuh hati kurapalkan semua doa yang bisa kuingat; berharap itu bisa melindungiku walau sedikit saja. Namun jantungku nyaris melompat meninggalkan rongga dada saat pintu kamarku berderit perlahan.

SESUATU ITU MASUK KE KAMARKU!

Air mataku mengalir.

Napasku sesak.

Aku ketakutan. Sangat!

SESEORANG.... TOLONG AKU! SIAPA PUN!

"San? SANI?!"

HAH!

Suara itu....

Mendadak tubuhku bergerak dengan sendirinya; melompat bangun dan memeluk erat si pemilik suara. Tangisku pecah. Sedetik kemudian aku sudah sesenggukan tak terkendali di dada Satya yang mendadak mematung.

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now