Artikel 16: "Pengalaman Dihantui Oleh Mahluk Astral"

233 83 6
                                    

AKU bukan orang bodoh. Walau tidak pernah menganggap diriku pintar, setidaknya aku pikir aku tidak bodoh-bodoh amat. Kemungkinan kalau dihantui oleh Pieter sudah terlintas di pikiranku sejak tadi. Namun, saat Satya bilang kalau hantu itu mengincarku, jantungku seperti berhenti berdetak selama beberapa detik.

"Dia... Mengincar aku?" Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa makin kering karena Satya mengangguk.

"Asli, gue tuh sebenernya percaya-nggak percaya sama hal-hal begini," aku Satya jujur. "Maksud gue, dulu nyokap bilang gue sering 'ketempelan' waktu kecil, yang artinya hal gaib itu emang ada. Tapi, ya udah, sebatas itu aja. Kenyataan itu tetap nggak bikin gue jadi peduli sama hal-hal gaib kayak kutukan. Kayak nggak masuk di logika aja, gitu. Tapi setelah beberapa peristiwa yang lo ceritain, gue terpaksa percaya." Entah kenapa Satya menghentikan kata-katanya sampai di sana, membuat atmosfer apartemen ini tiba-tiba menjadi kelam dan membuatku sesak.

"Randu orang yang akan dijodohin sama orang tua lo." Ada senyum getir yang tak bisa kupahami tersungging di bibir Satya. "Dan kalian punya sejarah masa lalu. Gue rasa, pas dia menghubungi lo lagi, sedikit banyak lo pasti sempat ingat lagi masa-masa pacaran dulu, kan?"

Tebakan jitu. Sepertinya Satya betul-betul bisa membaca pikiranku, dan itu membuatku membisu.

Ya, Satya benar.

Sejujurnya aku memang sempat mengenang lagi masa-masa yang dulu pernah kami—aku dan Randu—alami sewaktu SMA. Randu itu sebetulnya baik dan hatinya lembut. Sayang dia terlalu menempel di ketiak ibunya, itu saja. Namun, bagaimana pun dia cinta pertama sekaligus pacar pertamaku. Walau sudah bertahun-tahun tidak saling kontak, wajar kalau aku tetap tak bisa semudah itu melupakannya, kan? Wajar juga kalau semua kenangan yang kami lalui sempat muncul lagi saat mendengar suaranya lagi, kan?

"Dan Candi adalah orang yang lo suka sekarang." Lagi-lagi senyum getir itu terulas. Aku sedikit mengerutkan kening saat melihat Satya sejenak melempar pandang ke arah lain. Satya kenapa? Untunglah beberapa detik kemudian dia sudah terlihat biasa lagi. "Kelopak mawar di TKP Candi tadi, ditambah kelopak mawar di TKP kecelakaan Randu, dan juga yang ada di kosan dan tas lo—gue rasa semua itu berhubungan. Kalau lo ingat lagi telepon terakhir dari Pieter, jelas dia memperingatkan lo buat nggak main-main dengan orang lain. Dengan kata lain, dia mengincar lo, San."

Aku membeku. Otakku memerlukan sedikit waktu untuk memroses semua informasi ini. Apa yang Satya katakan terasa sangat masuk akal. Saking masuk akalnya, aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi.

"A-aku...." aku tergagap. "Terus aku harus gimana? Sebetulnya dia mau apa?"

"Nggak tahu," Satya mengedik. "Tapi, asal lo tahu, Candi ditemukan di bordes antara lantai dua dan tiga. Sedangkan Candi mulai masuk ke pintu darurat dari lantai empat. Saat polisi menyelidiki, ternyata di dinding lantai empat ada bekas benturan dan bercak darah di sana. Begitu juga di anak tangga dan beberapa titik lainnya. Menurut polisi, Candi sepertinya sempat dibenturkan ke dinding dan anak tangga sebelum menggelinding ke antara lantai dua dan tiga—dan itulah yang membuat lukanya parah. Brutal!" Satya menggenggam tangannya erat-erat dan menggeratakkan giginya. Jelas sekali kalau laki-laki itu tengah emosi berat.

"Gue nggak tahu dia mau apa. Yang gue tahu, dia lebih dari sekadar pengin menemui lo di malam ketujuh. Dia berbahaya, San. Dan dia akan menyingkirkan orang-orang yang lo suka."

JLEB.

Menyingkirkan orang-orang yang kusuka.

Sebuah belati virtual baru saja dihunjamkan tepat di jantungku. Perasaan yang sejak tadi kutahan tiba-tiba kembali meluap. Tanpa bisa dicegah setitik air mata mulai mengalir turun, disusul oleh tetesan lain, dan akhirnya aku kembali sesenggukan lagi. Detik berikutnya, aku sudah menangis terisak-isak sambil menelungkupkan kepala di meja makan.

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now