Artikel 8: "Perjodohan: Untuk Anak atau Untuk Orang Tua?"

277 75 12
                                    

"NDUK [1], Ibu iki wis kepengin duwe putu. Kapan kowe arep rabi?" [2]

Kretek.

Aku membunyikan sendi-sendi jari tanganku dengan geram. Gigiku gemeratak. Aku jengkel. Kemarin tiba-tiba saja Ibu menelepon dan membombardirku dengan pertanyaan paling standar dalam kamus ibu-ibu: kapan kawin, dan sejak saat itu moodku berantakan tak keruan. Namun tentu saja itu bukan segalanya karena masih ada mimpi buruk lainnya.

"Nek kowe urung duwe calon, si Randu kae isih gelem, lho, karo kowe. Iyo, Randu, mantanmu zaman SMA disik." [3]

Nama Randu menjadi mimpi buruk yang sesungguhnya dari telepon itu. Jauh lebih buruk dari pertanyaan "kapan kawin" ala Ibuk yang selalu bisa kuakali dengan jawaban "doakan secepatnya". Kali ini Ibuk secara terang-terangan menyodorkan nama Randu untuk menjadi calon suamiku.

Iya, Randu yang itu, cowok idola di SMA ku dulu, yang ternyata anak Mami banget. Aku baru tahu fakta itu setelah kami pacaran selama satu bulan.

Iya, Randu yang maminya itu selalu saja mengomentari gaya berpakaianku yang katanya ndeso alias kampungan. Dan komentar-komentarnya itu selalu berhasil membuat telingaku merah seperti baru ditaburi Bon Cabe level 30.

Iya, Randu yang selalu bilang "kata Mami" dan "Mami bilang" untuk setiap hal yang akan kami lakukan bersama. "Mami bilang nggak boleh nonton berdua", lah. "Mami minta kamu lebih sering pake rok", lah. "Kata Mami perempuan itu harus nurut sama laki-laki", lah. Sejenis itu.

Hiih, bikin ilfil, kan?

Dulu, demi menghindari Randu yang terus merengek paska kuputuskan, aku sampai sengaja memilih kuliah di Bandung. Pertimbangannya karena Bandung cukup jauh dari Jogja, dan aku yakin maminya tidak akan mengijinkan Randu kuliah terlalu jauh. Setelah lulus pun aku lanjut bekerja di kota ini supaya tidak perlu sering-sering pulang ke Jogja. Setelah semua usahaku itu, lha kok Ibuk malah mau menjodohkan aku dengan Randu? YANG BENAR SAJA, BUK!

"San? Gimana? Kalian ada rencana apa untuk tema bulan depan?"

Ha?

Masukan?

Aku tertegun, lalu mengerjap setengah linglung. Detik berlalu, barulah aku sadar kalau saat ini tengah mengikuti rapat evaluasi yang diadakan satu bulan sekali dan, uh, semua yang ada di ruangan ini ternyata sedang melihat padaku—termasuk Candi.

Seketika wajahku memerah.

Astaga! A-aku harus bilang apa?

"Eh...." tenggorokanku mendadak kering. "Ng-nggak ada, Kak."

Candi kelihatannya tidak puas dan akan mengatakan sesuatu. Untungnya Natasha buru-buru menyela.

"Untuk kategori urban legend, mulai bulan November ada kemungkinan kami akan mulai menyelipkan mitos dan legenda dari daerah lain," katanya sambil melirik tajam ke arahku, seolah ingin memastikan kalau aku mendengar semua penjelasannya. "Kami juga akan menambahkan segmen wawancara bersama tokoh spiritual maupun anak indigo. Mudah-mudahan ini akan menjadi daya tarik untuk kategori urban legend dan tentunya berkontribusi meningkatkan trafik pembaca ke website."

Penjelasan yang diucapkan dengan penuh percaya diri itu mendapat anggukan puas dari Candi dan juga para peserta rapat lainnya, termasuk Satya. Sedangkan aku sendiri sibuk menghujani Natasha dengan pandangan berterima kasih. Untung kali ini ada Natasha yang menyelamatkanku. Kalau tidak, bisa-bisa aku dapat teguran keras dari Candi, dan urusan promosiku akan semakin jauh saja. Hutfh....

* * * * *

"SAN! WOY! SAN!"

Suara panggilan-semi-teriakan itu tentu saja terdengar jelas olehku. Tanpa menoleh, aku sudah tahu siapa pemilik suara sok galak itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Satya. Namun saat ini moodku betul-betul sedang berada di bawah ambang batas normal. Sungguh bukan waktu yang tepat untuk bersinggungan dengan Satya yang selalu tahu cara terbaik menghancurkan hari. Karenanya, aku memilih mengabaikan panggilannya dan terus saja melangkah cepat menuju lift yang kebetulan pintunya baru terbuka. Namun, sebelum berhasil masuk lift, sesuatu menarik tas punggungku dari belakang. Tenaganya tidak main-main karena aku sampai terhuyung mundur beberapa langkah dan nyaris jatuh.

"Eee?" Spontan aku berteriak kaget. Untungnya aku tak sampai benar-benar jatuh karena ada yang menahan tasku.

Satya.

Aku langsung memutar mata dan menggeliat untuk melepaskan diri darinya.

"Apaan, sih?" omelku kesal. "Physical distancing, woy! Lagian kalau aku jatuh gimana?"

"Lo budek, apa?" Satya membalas dengan tak kalah judes. "Dari tadi gue panggilin, tapi lo nggak jawab!"

Aku mengembuskan napas kesal dan memilih untuk bungkam sambil menekan tombol lift yang pintunya keburu menutup lagi. Tuh, kan, Satya itu ahlinya dalam merusak moodku! Namun ternyata sikap diamku ini malah membuat Satya tambah kesal. Tiba-tiba saja dia menarik—setengah menyeret—lenganku untuk menjauh dari lift dan aku tak punya pilihan selain mengikutinya.

"Hah? Sat?" Aku bingung. "Ngapain?"

Namun laki-laki itu tak menjawab. Dia terus saja membawaku menuruni tangga, terus dan terus turun, hingga akhirnya tiba di basement kantor.

"Motor lo parkir di mana?" tanyanya.

"Ha? Motor?" Aku ternganga. "Sat?"

"Di mana? Udah jawab aja!"

Nada galak dalam kata-kata itu membuatku tertegun, sekaligus jengkel. Namun toh aku akhirnya menunjuk posisi motor Scoopyku yang parkir tak jauh dari tangga. Satya melirik sekilas, kemudian berlari kecil untuk mengambil helm yang tersangkut di motorku. Tak lama dia sudah menyerahkan helm hijau dengan gambar kerokeropi itu padaku.

"Nih," katanya, "yuk!"

"Hah?" Aku melongo. Yuk?

"Udah, diem aja! Ikut gue!" []


[1] Panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa.

[2] Nak, Ibu ini sudah kepengin punya cucu. Kapan kamu akan menikah? (B.Jawa)

[3] Kalau kamu masih belum punya calon, si Randu masih mau, lho, sama kamu. Iya, Randu, mantanmu jaman SMA dulu. (B.Jawa)

*
*
*
*
*

Kata Vie:

Halo! Terima kasih sudah baca cerita ini sampai part ini! Hari ini saya tidak akan berpanjang lebar menyapa teman-teman. Saya hanya ingin menginformasikan kalau mulai minggu depan "Halo, Cantik!" akan update setiap hari Kamis, alias malam Jumat. Sudah siap untuk dihantui Pieter setiap malam Jumat?

Sampai minggu depan ya!

- Vie

"Halo, Cantik!" [COMPLETED]Where stories live. Discover now