2. Awal pemberontakan

3.5K 182 10
                                    

Setelah kepergian Nalendra, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan kegiatannya di dapur. Memasak adalah hobby nya, dan sekarang Emely tengah mempersiapkan untuk membuat adonan cookies. Sambil bersenandung ria ia mulai untuk membuat adonan, hingga kedatangan suaminya Rafa, "Apa yang terjadi?"

"Apanya yah?" Tanya Emely menatap suaminya. Rafa menghembuskan nafas kasar, ia sungguh tidak enak rasanya dengan Nalendra. "Leana! Apa yang terjadi pada gadis itu? Apa dia tidak punya sopan santun, Nalendra sudah datang pagi - pagi kesini hanya untuk menemui anak pemalas itu. Tapi gadis itu malah mendekam di dalam kamarnya." Ujar Rafa menatap istrinya yang masih sibuk membuat adonan, dari kata - katanya terlihat sekali bahwa lelaki paruh baya itu tengah marah.

Melihat kemarahan suaminya, Emely segera mencuci tangannya dan mendekati Rafa "Ayah, biarkan saja. Mungkin Leana masih lelah." Ujarnya lembut, sambil mengelus lengan suaminya. Ia tau, suaminya ini orang yang tegas.

"Lain kali jika Nalendra datang lagi, dan gadis itu masih mendekam dalam kamarnya seret saja keluar!" Rafa mendengus, dan segera pergi dari dapur untuk siap - siap pergi kerja.

Emely menggelengkan kepalanya pelan, sambil tersenyum kecut. Ia tau jika putrinya tidak setuju dengan semua ini, tapi apakah ia berhak bersuara?

***
Seorang gadis terlihat menutup mulutnya sendiri sambil menahan buliran air mata yang ingin keluar, mendengar suara langkah kaki datang dengan cepat ia berlari dan bersembunyi di bawah tangga. Leana menyandarkan dirinya ke dinding lalu luruh begitu saja ke lantai, dengan isak tangisnya ia memukuli dirinya sendiri. Kenapa, kenapa harus dirinya?

Pagi ini setelah mendengar suara mobil menjauh, Leana segera bangkit dari tidurnya dan mengintip dari celah jendela. Terlihat mobil Nalendra telah menjauhi pekarangan rumahnya, gadis itu berjingkat senang. Kemudian ia pergi ke kamar mandi untuk ritual paginya. Hari ini ia ada kelas siang, Leana mengikat rambutnya dan segera mengambil tas nya. Tidak seperti gadis lain yang ribet dalam berdandan, Leana begitu simple karna ia tidak suka hal - hal yang merepotkan. Meski hari masih pagi, dan kuliah nya di siang hari tapi tetap saja gadis itu berangkat pagi - pagi. Karena menurutnya berada di luar rumah, jauh lebih menyenangkan.

Setelah memakai sepatu, kaki jenjangnya mulai menuruni anak tangga dan berjalan ke dapur. Tapi sebelum sampai dapur, Leana menghentikan langkahnya ketika mendengar suara kedua orang tuanya yang tengah membicarakan kejadian tadi. Leana mengepalkan tangannya erat, bicara pun percuma karna tidak akan ada yang mengerti dirinya. Apalagi bagaimana lelaki yang bernama Nalendra itu memperlakukan dirinya. Leana cukup tersentak ketika mendengar ayahnya berkata seperti itu, kenapa seakan ayah nya sendiri malah berpihak pada lelaki itu?

Leana mengusap sudut matanya kasar, yang mengeluarkan air mata tiba - tiba. Kemudian ketika mendengar langkah kaki ayahnya mendekat ia pun berlari dan bersembunyi di bawah tangga seraya terisak.

Disinilah dirinya berada sekarang di bawah tangga, sendirian dengan hati yang berkecamuk. Leana mengusap matanya kasar, berusaha menghilangkan jejak tangis nya. Ia pun menormalkan nafasnya sejenak kemudian berjalan kembali menuju dapur.

"Bunda..."

"Eh anak bunda udah bangun, mau kemana sayang? Kan kuliah kamu siang..." Ujar Emely ketika melihat anaknya sudah rapi pagi - pagi begini.

"Kampus bunda, Lea ada tugas juga makannya berangkat pagi."

"Iya hati - hati." Ujar Emely ketika melihat anaknya melenggang begitu saja, namun merasa ada yang aneh Emely segera menghampiri Leana yang sudah menghidupkan mobil.

"Lea.."

"Leana..."

Teriak Emely, namun putrinya sepertinya tidak mendengarnya dan pergi begitu saja. Emely menatap kepergian putrinya, Leana mengendarai mobilnya di atas rata - rata. Lalu tadi dia juga seperti sengaja tidak mendengar panggilannya. Serta mata Leana yang sembab, apa putrinya menangis?

Emely berjalan kembali menuju dapur, lalu melihat suaminya yang sudah rapi. "Ayah berangkat sekarang?"

"Iya bun, kemana anak itu? Ayah tadi dengar suara mobil begitu keras. Dasar." Ujar Rafa sambil membenarkan dasinya.

"Ke kampus yah, katanya ada tugas makannya berangkat pagi."

Rafa tidak menjawab, lelaki paruh baya itu beralih mencium kening istrinya, "Ayah berangkat bun."

"Iya hati - hati.."

Setelah kepergian suami dan putrinya, Emely kembali membuat cookies nya. Ia tau putrinya itu sedang marah, dan semoga Leana tidak membuat ulah dalam kemarahannya. Karna ia tau bahwa putri dan suaminya itu memiliki kemarahan yang sama.

***
Matahari belum menampakkan dirinya, tetesan hujan tak kunjung berhenti membasahi bumi. Namun Jakarta terlihat begitu sibuk dalam aktivitasnya masing - masing. Mobil sport berwarna hitam mengkilap itu terlihat membelah jalanan raya. Seorang gadis yang mengendarainya terlihat begitu menikmati alunan musik, dan mengacuhkan segala umpatan dan makian oleh para penghuni jalanan. Leana begitu menikmatinya, rasanya dirinya seperti burung yang terbang bebas. Melihat tulisan Universitas Arsyanendra, Leana menghembuskan nafasnya pelan ternyata ia telah sampai. Mengapa rasanya begitu dekat? Leana mulai memasuki area kampus, dan ternyata masih begitu sepi.

Kerleeanna Alina seorang gadis yang tengan menempuh bangku perkuliahan semester 4. Gadis tinggi semampai, dengan kulit putih bersih serta rambut hitam legam seperti iris matanya. Pandangannya yang tajam dan begitu misterius membuat begitu banyak laki - laki yang mencoba mendekatinya. Seperti arti dari namanya Alina, terang dan bersinar. Aura gadis itu begitu dominan, namun tetap kalah dihadapan seorang Nalendra.

Leana keluar dari mobilnya dan membanting pintunya kasar. Gadis itu melihat sekeliling, dan merasa heran mengapa keadaan kampus begitu sepi. "Ck. Apa ini kuburan? Mengapa tidak ada orang." Leana berdecak, lalu mengambil ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya, dan tentu saja gadis itu tidak akan bangun jam segini apalagi mengetahui ada kuliah siang. Dan benar saja, sahabatnya tidak mengangkat panggilan darinya.

Melihat sepertinya tidak ada orang, Leana berjalan menuju kelasnya. Lebih baik ia menunggu disana, dan melanjutkan mimpi indahnya. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain tidur dalam kelas. "Hoamm..." Leana menguap sambil melangkahkan kakinya menuju kelas.

"Ngantuk by?"

"Kenapa malah ke kampus pagi - pagi hm?"

Leana memutar tubuhnya dan membelakkan matanya ketika melihat lelaki yang ia hindari kini tengah berdiri dihadapannya. Nalendra tersenyum dan berjalan mendekat. Tanpa menunggu lelaki itu, Leana melangkahkan kakinya kembali menuju kelas. Seharusnya ia tidak terkejut lagi. Karna sekarang ia tengah berada di sangkar lekaki itu.

Dendam dan Siksa PerjodohanWhere stories live. Discover now