16. Mendua?

1.8K 68 6
                                    

Pintu tertutup sempurna, meninggalkan Nalendra yang mematung di tempat. Gadisnya begitu keras kepala, ia terkekeh pelan sambil meraup wajahnya kasar. Gadis kecilnya yang lugu telah berubah menjadi singa betina, dan itu tentu saja berkat dirinya. Nalendra melangkahkan kakinya dan kembali duduk, seraya menyalakan sebatang nikotin pikirannya menerawang jauh memikirkan apa yang telah berlalu.

"Lo terlalu membiarkannya berkeliaran bebas!" celetuk seseorang membuat Nalendra menoleh dan menatap lelaki yang berdiri di ambang pintu itu datar.

"Bukan urusan lo!" sahut Nalendra acuh.

Defrizal terkekeh lalu duduk di hadapan Nalendra dan menuangkan segelas wine. "Lo terlalu larut dalam peran, dan jangan sampai lo lupa tujuan awal kita!" peringatnya menatap Nalendra serius.

Nalendra tidak menjawab, ia terus menyesap sebatang nikotin yang berada di sela jarinya sembari menatap lurus ke jendela. Kata-kata yang di lontarkan oleh Defrizal tidak salah, namun ia benci jika mengingat semua itu.

"Tapi dia cantik juga, gimana kalau gue rebut?" celetuk lelaki itu sembari mengerling ke arah Nalendra.

"Bilang aja, bagian tubuh lo mana yang harus gue potong!"

Tawa lelaki itu meledak, sungguh Nalendra yang posesif. Cinta memang mampu membuat kita buta akan segalanya, sekalipun ada dendam yang tersemat.

"Dia begitu manis, dan juga sedikit liar!" desis lelaki itu sembari memegang dadanya, rasanya jantungnya berdetak lebih cepat. "Ah Kerleeanna Alina."

Dor!

Defrizal terdiam dan menatap Nalendra dengan geram. Hampir saja kepalanya berlubang karena peluru itu. "Bangsat lo!"

"Keluar! Atau kepala lo yang hancur disini!" desis Nalendra tajam, iris biru safirnya menatap lelaki di hadapannya itu dengan nyalang.

"Santai brother," kekeh Defrizal sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Lelaki di hadapannya ini ternyata begitu buas.

***

"Lo baik-baik aja kan?"

Gadis itu tidak henti-hentinya bertanya dan memeriksa keadaan sahabatnya dari atas sampai bawah.

"I'm fine An!" geram Leana kesal, rasanya ia ingin sekali mencekik sahabatnya itu. Kepalanya pusing dan tambah pusing lagi ketika mendengar ocehan Hellena.

Hellena menyengir lalu kembali duduk di samping sahabatnya. "Tapi tunggu, dahi lo panas Lea," ujarnya sambil menyentuh kening sahabatnya, sepertinya benar Leana demam.

"Nanti juga ilang." jawab Leana sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja.

"Lo demam bukan karna di apa-apain pak Defrizal kan?" cicit Hellena pelan, pasalnya siapa yang tidak tahu akan sikap pimpinan rektorat satu itu. Kejam dan diktator setidaknya dua kata itu lah yang bisa para mahasiswa deskripsikan.

Leana mendongakkan kepalanya dan menatap datar wajah takut sahabatnya, memangnya bisa apa lelaki seperti jelly itu. "Memang lelaki bajingan itu bisa apa An?"

Gadis itu terpekik dan secara spontan menutup mulut sahabatnya. Sepertinya mulut adalah harimaumu bukanlah kata kiasan lagi. "Diem Lea! Lo ngatain pak Defrizal bajingan? Astaghfirrullah, sadar Lea."

"Lo yang sadar agama!"

Hellena menutup mulutnya, "Eh astaghfirrulah."

Leana memutar bola matanya malas dan kembali menelungkupkan kepalanya. Mendengar ocehan Hellena memang tiada habisnya.

"Tu bajingan, nyaranin gue pergi ke psikolog! Harusnya dia yang kepalanya di setrum!" desis Leana kesal, siapa sangka kampus paling tersohor ini ternyata memiliki pimpinan yang mempunyai kelainan jiwa.

Dendam dan Siksa PerjodohanWhere stories live. Discover now