12. KUA?

1.4K 81 1
                                    

Iris mata hitam legam itu menatap datar seorang lelaki tampan yang sudah rapi dengan kemeja dan balutannya jas nya. Kadar ketampanannya bertambah berkali lipat ketika tengah serius melilitkan perban di kaki kanan seorang gadis yang tengah menatapnya sedari tadi itu. Ketika sedang marah, lelaki itu bagaikan iblis yang siap mencabut nyawa mangsanya. Namun di saat tenang seperti ini lelaki itu bagaikan sesosok malaikat. Leana menepuk jidatnya kesal, tanpa sadar baru saja ia tengah memuji bajingan dihadapannya ini.

Lelaki itu mendongak menatap raut wajah Leana yang kesal kemudian tertawa pelan, "Aku memang tampan by, kau bisa melihatnya langsung," bisik Nalendra lembut sembari mengambil telapak tangan gadis itu dan ditaruh diwajahnya, ia menggerakkannya perlahan seolah Leana tengah menyusuri wajah tampannya. "Dan juga menyentuhnya, karna ini milikmu.." lanjutnya lalu mendekat dan mengecup singkat pipi gadisnya.

Leana melotot kaget lalu dengan cepat ia mendorong Nalendra, "Bacot!" desisnya kesal, sepertinya lelaki itu tengah menganggapnya bahwa ia telah menerima dirinya. Leana tertawa itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya.

"Kenapa mulutmu selalu mengumpat?"

Gadis itu melirik sekilas pada lelaki yang tengah mengobati telapak kakinya, "Suka-suka gue! Mulut-mulut gue, nggak suka? Ya tinggalin aja gampang bos. Hidup udah rumit jangan diperumit lagi!" seru Leana kesal, lelaki itu terus saja mengobati kakinya padahal itu sudah tidak sakit sama sekali.

Nalendra terkekeh pelan lalu menekan kuat luka telapak kaki leana membuat gadis itu memekik kesakitan. "Aku nggak masalah punya istri cacat nanti by, setelah ini ayo kita ke KUA." desis Nalendra pelan, sambil membelai lembut wajah yang kesakitan itu. Jangan kira sifat keras nya telah hilang jika hanya menunjukkan kelembutan sedikit.

"Sakit bangsat!" teriak Leana sambil memukul kasar dada lelaki itu ketika telapak kakinya di gores acak menggunakan silet. Entah sejak kapan benda tajam itu berada di tangan Nalendra. "Aku bukan orang sabar by, ketika aku bersikap lembut jangan kira aku akan berubah!"

"Arghh! A-Al stop please..." lirih Leana pelan, ia tidak sanggup lagi rasanya kakinya sudah mati rasa dengan darah yang terus mengalir. "Sepertinya cara lembut memang tidak bisa by.." kekeh Nalendra dan membuang asal siletnya. Ia menyeka keringat dingin di kening gadisnya pelan, nafas Leana tidak teratur dengan mata yang hampir terpejam.

"Gue-"

"Apa?"

"A-Aku juga bukan orang sabar Al.." Lirih Leana pelan sambil menatap langit - langit kamarnya dengan pandangan kosong. "Beberapa tahun terakhir ini rasanya aku ingin mati setiap saat.." ujarnya lagi sembari tertawa hambar sedangkan lelaki itu hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Seharusnya kamu ngerti Al, aku nggak suka sama kamu!"

"Aku nggak pernah punya perasaan apapun selain benci yang terus menjadi-jadi.."

Nalendra bungkam masih mendengarkan gadisnya, ia meraih telapak tangan Leana dan mengecupnya beberapa kali.

"Cari perempuan lain Al, kamu berhak bahagia."

"Kamu mau ke kampus kan? Ayo.."

Seperti ini lagi, akhir yang selalu bisa ia tebak. Lelaki itu selalu mengalihkan pembicaraannya. Leana mengacak rambutnya kasar, rasanya ia mau gila. Dengan cepat ia bangkit dan meraih tas nya namun cekalan tangan Nalendra membuatnya menghentikan langkahnya.

"Luka kamu, ayo aku obati dulu."

Leana menepis tangan Nalendra dan berjalan untuk mengambil tas nya, ia benci fase melukai dan mengobati. Lebih baik seperti ini saja, ada luka tanpa obat.

"Leana?" sentak Nalendra kasar ketika gadis itu mengabaikannya, noda darah di telapak kaki gadisnya tercetak jelas di lantai. Nalendra menyeret Leana kasar dan mendudukkannya di sofa kembali.

Dendam dan Siksa PerjodohanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora