10. Sama-sama sakit

1.4K 79 11
                                    

Matahari semakin tinggi hingga tenggelam untuk kembali ke peraduan. Seorang gadis bergerak gelisah, dari pagi ia hanya berbaring di tempat tidur saja. Ini sangat membuatnya tidak nyaman, rasanya ia hampir mati kebosanan. Leana menghela nafas gusar lalu bangkit dan mencepol rambutnya asal. Gadis itu berjalan menuju pintu, dengan satu kaki yang ia seret. Sepertinya hari sudah sore, rasanya ia seperti berada di penjara bawah tanah.

"Bangsat!" desis nya ketika merasakan pintu itu masih terkunci dari luar. Lelaki itu telah meninggalkannya sejak selesai menyuapi nya bubur tadi siang. Entah kemana dan yang jelas ia tidak peduli. Lelah rebahan sepanjang hari Leana menuju balkon, dan nyatanya kembali membuatnya emosi. "Pintu balkon pun ia kunci?" beo Leana sambil menatap datar keluar, ia benar-benar seperti tahanan sekarang.

Gadis itu kembali berjalan, sambil menyeret kaki kanannya. Dengan sekuat tenaga ia mengambil sebuah kursi lalu menghantamkannya ke jendela balkon. Leana tersenyum puas, ketika melihat jendela balkon itu habis tak tersisa. Dengan hati-hati gadis itu melewati serpihan kaca itu dan melompat keluar menuju balkon.

Berhasil.

Leana memekik girang, rasanya senang sekali setelah kembali menatap langit. Iris mata hitam pekat itu menatap cahaya langit yang kemerah-merahan dengan senyum cantik nya. Deburan ombak yang menyapanya, membuatnya ingin sekali mencelupkan kakinya disana. Terpaan angin yang membuat helaian rambutnya bergerak perlahan. Ah rasanya ia ingin sekali ia berlarian di pantai sana.

Hanyut dalam pikirannya sendiri, seketika membuat Leana tersentak. Mengapa ia tidak melompat ke pantai saja lalu kabur dari bajingan itu? Leana menumpu dagunya dengan kedua tangannya di pagar pembatas balkon, mansion ini jauh dari keramaian dan hanya di kelilingi lautan dan hutan. Jika ia melewati jalan itu hanya akan memperburuk keadaannya dengan menyerahkan dirinya sendiri pada binatang buas di hutan sana. Namun, jika ia melompat ke laut ia hanya perlu berenang sebentar dan disana pasti ada perahu. Leana menatap serius deburan ombak dibawahnya, air yang jernih itu cukup membuatnya was-was.

"Tapi disana tidak ada hiu kan?" Gumamnya pelan.

"Tentu ada baby," Kekehan lelaki itu mengalun merdu ditelingannya yang membuat Leana merinding. "Lepas!" desis nya sambil berusaha melepaskan pelukan lelaki itu, namun yang ia rasakan malah semakin mengerat.

"Semakin kau menolak, aku akan semakin tergila-gila padamu Leana," bisik Nalendra pelan sambil meniup telinganya.

Leana terkekeh, lalu ia berbalik dan mengelus rahang tegas lelaki itu yang membuat empunya memejamkan matanya. "Benarkah?" tanya Leana sambil mendekatkan dirinya pada leher lelaki itu dan meniupnya, Nalendra mengangguk samar dengan masih memeluk gadisnya erat. Leana kembali tertawa lalu ia berjinjit dan mengecup leher lelaki itu, melihat ekspresi dan respon nya sepertinya Nalendra mulai luluh. Merasa pelukannya mulai longgar Leana mendorong kasar lelaki itu hingga menabrak pembatas balkon.

"Huh dasar menjijikkan!" desis Leana sembari mengelap bibirnya kasar. Tidak mempedulikan tatapan membunuh dari lelaki itu, Leana berjalan melewatinya begitu saja.

"Kau memang gadis yang menarik," seru Nalendra sambil menatap Leana yang melewatinya begitu saja. "Aku bukan orang sabar dan penuh belas kasihan baby," ujarnya sambil menjambak rambut gadisnya membuat Leana terpekik kaget. Nalendra menghela nafas sejenak lalu berkata, "Aku juga bisa membalas apa yang kau lakukan padaku, bahkan berkali - kali," smirk lelaki itu dengan nafas yang memburu tepat didepan wajah Leana yang menahan sakit.

Brak!

"Ahkk.."

Leana meringis, menahan panasnya kesakitan disekujur tubuhnya. Bahkan bibirnya kelu untuk mengatakan sepatah katapun. Nalendra tersenyum sinis, lalu menghampiri Leana yang merintih kesakikan ketika ia melemparnya kasar dan menghantam pembatas balkon. "Sakit baby? Nikmati itu sampai kau puas!" desisnya tajam sambil mengelus kening Leana yang mengeluarkan darah lalu berlalu pergi.

Gadis itu menatap kepergian Nalendra dengan datar, rasanya seluruh tubuhnya remuk dan ia rasa akan tetap begini selama seminggu kedepan. Jika ia mampu, ia akan berdiri dan melompat dari sini. Leana tertawa, ia rasa hidupnya lebih buruk dari neraka. Kenapa orangtuanya sengaja melempar nya ke neraka? Tidak cukup baikkah ia menjadi seorang anak? Jika tidak, orangtuanya tidak perlu mengirimnya ke neraka dunia, tapi langsung saja ke neraka kematian.

Itu jauh lebih baik.

Pemilik iris hitam pekat itu menatap langit yang mulai menghitam dengan pandangannya yang mulai meredup. Ah ia tidak boleh pingsan, dimana harga dirinya nanti jika pingsan dihadapan lelaki itu. "Tapi gue ngantuk.." lirihnya sambil mengucek matanya agar tidak terpejam. "Sebentar saja, iya sebentar saja gue capek..."

Pertahanannya runtuh, mata yang tadinya masih menatap rembulan itu kini sudah terpejam dengan sempurna. Menjemput alam mimpi yang seolah selalu memanggillnya.

Mungkin Tuhan tahu, mimpinya lebih indah dari kenyataan.

***

"Arghh!!!"

Teriakan menggema lelaki itu menggema di seluruh mansionnya. Nalendra melempar asal botol wine nya, kemudian mengambil yang baru dan kembali meneguk nya. Ditengah kegelapan itu hanya ada dirinya dan sebotol wine di tangannya. Lelaki itu tertawa sambil menatap kedua tangannya. "Stupid!" desisnya sambil menggores kedua tangannya dengan pecahan botol wine.

Ia tahu gadisnya hanya mengelabuinya tapi tidak seharusnya ia melakukan itu. Nalendra terus menggores tangannya sendiri hingga darah itu keluar membuatnya tersenyum puas, pasti sekarang Leana semakin membencinya.

"Aku juga kesakitan baby, sama sepertimu.."

"Kita sama-sama dipenuhi rasa sakit, lalu mengapa kita tidak bersama saja?"

Namun seketika Nalendra tersentak kaget, lalu dengan berjalan sempoyongan ia menuju cepat ke kamar Leana. "Baby.." panggilnya ketika mendapati kamar itu gelap dan angin malam semakin menusuk. Nalendra menggeram kesal dengan cepat ia menuju balkon.

Wajah yang biasanya selalu berseri itu kini dalam keadaan yang cukup dibilang tidak baik-baik saja. Wajah Leana pucat pasi dengan darah yang sudah mengering di kening dan sudut bibirnya. Nalendra tersenyum kecut ketika merasakan tangan gadisnya yang dingin. Dengan cepat lelaki itu menggendongnya menuju kamarnya dan membaringkannya dengan hati - hati.

tbc.

Dendam dan Siksa PerjodohanWhere stories live. Discover now