Kenangan

113K 4.6K 404
                                    

"Ibu, meninggal itu apa?" tanyaku sembari berbaring di pangkuannya.

"Pergi ke rumah Allah dan gak kembali lagi ke rumah ini." Ibu mengusap rambutku.

"Kalau begitu, aku gak mau meninggal, Bu."

"Semua orang pasti meninggal, Sayang."

"Nanti aku gak ketemu ibu lagi dong!" Aku bangkit lalu menatap wajahnya.

"Insya Allah nanti kita dipertemukan lagi di surga." Ibu mengecup keningku.

Percakapan masa kecil itu masih teringat jelas di pikiran ini. Kukira setelah belasan tahun berlalu, aku sudah siap menghadapi kepergiannya. Nyatanya, baru seminggu saja rasanya sudah sangat berat.

Tok! Tok!

Kriet!

"Lang." Kak Nasrul memanggilku seraya berdiri di dekat pintu.

Aku menoleh. Pakaiannya sudah begitu rapi. "Kakak mau ke mana?"

"Pulang."

"Loh? Kok cepet amat."

"Kakak cuman ambil cuti seminggu, Lang. Besok harus masuk kerja."

"Aku sendirian dong di rumah."

"Kamu jagain rumah ya."

Aku bangkit dan menghampirinya, "Kakak gak ada niatan untuk tinggal di sini gitu? Kan ada dua kamar kosong."

"Waduh, kamu tau sendiri kantor kakak di Bandung. Masa harus bolak-balik Jakarta-Bandung tiap hari."

"Cari kerjaan di Jakarta gitu, Kak. Biar bisa tinggal di sini."

Kak Nasrul mengerutkan dahi, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Sebentar lagi kan kamu masuk kuliah. Coba ajak temen kamu tinggal di sini aja."

"Masih lama, Kak!"

"Bulan depan, kan?"

"Iya. Itu kan masih lama."

"Sebentar itu, Lang." Kak Nasrul berjalan ke luar, spontan aku mengikutinya.

Ada ojek online yang sudah menunggu di luar pagar. "Loh, kakak gak pake mobil?" tanyaku.

"Kamu pake aja," balasnya.

"Aku gak punya SIM."

"Udah 17 tahun, kan?"

"Udah."

"Tinggal bikin. Apa susahnya?"

"Kakak bawa aja mobil ibu ke Bandung." Aku agak memaksa, daripada mobil itu hanya terparkir di garasi.

"Kamu bisa nyetir?"

"Bisa."

"Yaudah, kamu pake aja mobilnya. Buat kuliah nanti."

"Kan ada motor, Kak!"

"Sekali-kali pake mobil kan bisa, Lang." Kak Nasrul berjalan ke luar pagar, aku pun mengikutinya. Ia berdiri menghadapku, kemudian menepuk pundakku. "Kamu jaga rumah baik-baik. Nanti kalau lagi libur dan gak ada kerjaan kakak bakal pulang, nemenin kamu."

"Iya, Kak."

"Kalau ada apa-apa atau butuh uang, kabarin kakak ya."

"Oke!"

"Kakak pulang dulu ya, Lang." pamitnya sembari naik ke atas motor. "Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." Motor pun melaju. "Kabarin aku kalau udah sampe, Kak!"

"Oke!" sahutnya. Sementara itu, aku masih berdiri di luar pagar sambil menatap motor yang perlahan menjauh.

Sebelum masuk rumah, aku sempat melihat ke ujung jalan. Ada beberapa orang sedang sibuk membongkar tenda di depan rumah Bu Salmah. Salah satu teman pengajian ibu yang menjadi korban kecelakaan maut itu.

Aku melangkah ke dalam rumah, menatap tanaman keladi koleksi ibu. Beberapa sudah terlihat layu dan menguning. Baru seminggu saja, aku sudah kerepotan mengurus tanaman koleksi ibu. Padahal selama ini ibu bisa mengurus semuanya dengan baik. Meski ia sangat sihuk.

Bergegas aku mengambil semprotan air, lalu menyiram tanaman-tanaman itu. Senyum ini mengembang saat melihat tanaman keladi putih. Ingat sekali bagaimana proses mendapatkannya.

Berawal dari kabar tentang harga Keladi Putih yang melonjak tinggi. Ibu sangat bersemangat untuk mendapatkannya. Tiba-tiba ia mendapatkan kabar kalau ada menemukan tanaman itu di hutan daerah Bogor.

Bergegas ibu pergi ke sana, tidak lupa mengajakku juga. Sesampainya di sana, ia langsung memintaku menyusuri hutan itu. Berjalan menembus semak-semak. Aku berhasil menemukannya setelah beberapa jam pencarian. Sayangnya, setelah dibawa ke rumah, tanaman ini tidak pernah beranjak dari halaman depan.

Pandangan ini tiba-tiba berembun. Tak lama ada air mengalir di pipi. Argh! Padahal aku bermaksud menyiram tanaman. Kenapa pipi ini malah ikutan basah.

Aku duduk di teras, menatap langit senja. Terbayang kenangan bersama ibu. Menjelang magrib begini, biasanya kami duduk di ruang tengah sembari menonton televisi. Lalu mendiskusikan menu makan malam.

Sebelum tidur, kami juga biasa menonton televisi. Ibu suka sekali menonton acara komedi. Bahkan, sampai detik ini, aku masih belum bisa melupakan suara tawanya yang begitu khas.

Air mata ini kembali jatuh tak tertahankan. Dasar cengeng! Benar kata orang, patah hati terbesar anak laki-laki ketika kehilangan cinta pertamanya yaitu ibu. Entahlah! Apa aku sanggup melanjutkan hidup ini tanpa kehadirannya.

Perlahan, senja pun menghilang. Tak berselang lama, adzan magrib berkumandang. Aku bangkit dan masuk ke dalam rumah. Tak lupa menutup pintu. Kemudian berjalan menuju kamar, mengambil handuk dan pakaian.

"Son," ucapku saat melihat kucing kesayangan ibu —Samson sedang berdiri mematung sembari menatap ke arah dapur yang gelap. "Son." Aku mendepaknya pelan. Samsom terperanjat lalu berlari ke ruang tengah.

Tek!

Kunyalakan lampu dapur, lalu berbelok ke kamar mandi.

BRANG!

Sontak aku membalikan badan, menghadap pintu. Kubuka pintu, melihat panci kecil sudah tergeletak di lantai dapur. Kuedarkan pandangan, mencari keberadaan Samson. Nihil. Kucing itu tidak terlihat di dapur. Aku kembali menutup pintu, melanjutkan mandi.

Tok! Tok!

Kumatikan keran air, lalu menoleh ke pintu. Jelas sekali tadi ada yang mengetuk.

"Lang," panggil Seseorang dari luar. Suaranya sama persis dengan ibu. Aku mundur perlahan, menjauhi pintu. "Lang, tolong bersihkan badan ibu. Banyak darah."

Deg!

Jantung ini berdebar kencang. Badan pun terasa lemas dan gemetar. Sementara pikiran ini masih mencerna suara di luar. Apa benar itu suara Ibu?

BERSAMBUNG

Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang