Membenturkan Kepala

39K 2.6K 147
                                    

Aku menendang kaki Ega, tapi ia tidak merespon. Kutarik earphone yang menempel di telinganya. "EGA!" teriakku.

Ia terperanjat dan membuka mata. Kemudian memasang wajah kesal. "Apa sih, Lang!"

"Tadi gua denger ada suara di luar kamar!"

"Hah? Luar kamar?"

"Iya! Di deket pintu."

Ega melihat ke arah pintu. "Lu abis dari mana emangnya?"

"Gak ke mana-mana, dari tadi gua di kamar."

"Terus itu pintu siapa yang buka."

"Nah, itu dia! Pintunya kebuka sendiri, terus ada suara sama tangan pucet muncul. Pas gua teriak langsung ilang."

"Hii! Lu kagak bohong, kan?"

"Beneran!"

"Terus, kenapa lu kagak tutup pintunya?"

"Takut, ntar tiba-tiba ada yang muncul. Bisa pingsan gua."

"Gua liatin. Buruan tutup!"

"Temenin lah, Ga."

"Ah elah, cuman lima langkah juga nyampe itu!"

Aku menatap pintu sambil bersiap-siap untuk lari. "Buruan, Lang!" perintah Ega.

"Gua lagi nyiapin mental dulu."

Ega mendorong tubuhku dengan kakinya. Bergegas aku menutup pintu, lalu kembali duduk di samping kasur. "Rumah lu horor banget, Ga," ucapku.

"Gara-gara lu nginep," sahut Ega sambil memasang kembali earphonenya. "Dah gua mau tidur lagi."

Ega cepat sekali tertidur. Sementara mataku tidak bisa dikondisikan, karena tidak mengantuk. Kulihat jam di ponsel, sudah pukul 03:55. Kurang dari 20 menit lagi azan subuh akan berkumandang.

Ngik!

Terdengar suara orang membuka pagar. "Ga." Aku menggoyang-goyangkan tubuh Ega. Tak lama kemudian, ada suara langkah kaki di teras. "Ga! Bangun!" Aku sampai menjam-bak rambutnya, tapi ia tidak bangun juga.

Krek! Kriet!

Kini ada yang membuka pintu depan. Diikuti suara langkah kaki mendekat ke kamar ini. Aku berbaring menghadap kasur — membelakangi pintu.

Kriet!

Pintu kamar terbuka. Sontak aku menjerit sambil memanggil nama Ega.

"Kenapa teriak?" tanya Suara di belakangku.

"EGAAA!" Aku mencu-bit perut Ega dengan kencang.

"Aw, sakit, Lang!" sahut Ega yang akhirnya terbangun. "Loh, ibu kok udah pulang?"

"Ibu lupa kalau hari ini ada acara pagi-pagi."

Ibu? Spontan aku membuka mata, lalu menoleh ke belakang. Ternyata itu Tante Lisa — ibunya Ega. "Eh, tante." Seketika itu aku langsung malu.

"Tadi kenapa teriak?" tanyanya.

"Gilang habis ngeliat setan, Bu," sahut Ega.

"Liat di mana?"

"Di luar." Aku terpaksa berbohong, karena tidak mau menakuti Tante Lisa.

"Belakangan ini kondisi perumahan emang lagi banyak kejadian horor. Sebaiknya kalau malam di rumah aja. Jangan keluyuran."

"Tuh denger, Lang. Di rumah aja!"

"Ini juga rumah."

"Rumah lu, maksudnya."

Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now