Korban

25.7K 2.1K 68
                                    

"Itu mobilnya Pak Dika, Kak," ucapku.

"Bukannya kamu bilang Pak Dika dirawat di rumah sakit," balas Kak Nasrul.

"Iya."

Rasa penasaran ini membuat suasana sarapan jadi kurang nyaman. Aku ini cepat-cepat pulang, melihat apa yang terjadi pada Pak Dika. Yang jelas, perasaan ini sudah tidak enak. Pasti terjadi sesuatu padanya. Semoga saja bukan hal yang buruk.

"Buru-buru amat, Lang?" tegur Cecep, lalu menyeruput kopi.

"Sakit perut gua," balasku. "Lu gak ngecek ke rumah Pak Dika, Cep?"

"Gua mau balik, lagian sekarang shift-nya Mas Andi."

Kak Nasrul berdiri dan membayar semua pesanan. Setelah itu kami pun pulang. "Kamu bohong kan bilang sakit perut?" tanyanya.

Aku tersenyum, "Iya."

"Pasti penasaran sama ambulan tadi."

"Iya, Kak."

Dengan langkah cepat kami meluncur menuju rumah. Setibanya di belokan terakhir, mata ini langsung tertuju pada ujung jalan. Di depan rumah Pak Dika sudah ramai orang. Bergegas kami melangkah ke sana.

"Ada apa, Pak?" tanyaku pada pada Pak Ryan yang sedang berdiri di depan rumah Pak Dika.

"Pak Dika meninggal, Lang."

"Innalillahi wa innailaihi rojiun," ucapku dan Kak Nasrul, kompak. "Meninggalnya jam berapa?" imbuhku.

"Katanya tadi subuh," balas Pak Ryan.

"Kakak mau masuk ke dalem?" tanyaku.

"Masa pake baju begini, Lang," balas Kak Nasrul.

"Eh iya juga."

"Pulang dulu aja."

"Oke."

Kami pun pulang. "Kira-kira ada hubungannya sama pesugihan itu gak, Kak?" tanyaku pada Kak Nasrul yang sedang membuka pintu.

"Gak usah mikir sampe sana."

Setelah mandi dan berganti pakaian, kami pun kembali ke rumah Pak Dika. Pelayat sudah semakin ramai. Kami masuk ke dalam untuk mengucapkan bela sungkawa.

Aku duduk di dekat jenazah, lalu membaca doa. Pandangan ini teralihkan pada Sherly — anak sulung Pak Dika yang tak henti-hentinya menangis di pojokan. Kehilangan kedua orang tua dalam waktu dekat memang sangat menyakitkan. Semoga saja dia bisa melalui masa suram ini.

"Lang," bisik Suara di telinga.

"Apa, Kak?" Aku menoleh pada Kak Nasrul

"Apa?" Ia tampak kebingungan.

"Tadi manggil aku?"

"Enggak, orang kakak lagi baca doa."

"Lang." Suara lirih itu kembali terdengar.

Pandangan ini menyisir ke setiap sudut ruangan. "Astaghfirullah!"  ucapku, kaget.

"Kenapa, Lang?" tanya Kak Nasrul.

"Pulang yuk, Kak!"

"Bentar."

"Aku tunggu di luar ya."

"Ada apa sih?"

"Gak ada apa-apa." Aku bangkit dan buru-buru pergi ke luar. Tak bisa rasanya mendoakan seseorang yang hadir di ruangan itu. Ya. Pak Dika ada di sana. Berdiri di dekat Sherly, dengan wajah berwarna biru gelap.

Kak Nasrul berjalan mendekat, "Ada apa sih, Lang?" tanyanya.

"Aku ceritain di rumah aja."

Kami pulang ke rumah dan mengobrol di kamarku. "Kamu beneran liat itu?"

Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang