Desas-desus

32.8K 2.4K 59
                                    

Sudah satu jam aku berdiam diri di masjid komplek. Masih belum menentukan tujuan. Kucoba mengirim pesan ke Ega, tapi belum ada balasan.

Ting!

Panjang umur, akhirnya Ega membalas pesanku.

[Gua gak ada di rumah, Lang]

[Balik kapan]

[Besok]

Aku tak begitu saja percaya dengan ucapannya. Kucoba meneleponnya.

"Apaan, Lang?" ucapnya saat telepon diangkat.

"Lu beneran gak ada di rumah?"

"Iye. Ini gua lagi di rumah saudara."

"Oh ya udah deh."

"Emangnya di rumah lu kenapa?" tanya Ega.

"Gara-gara kejadian di rumah lu kemaren. Gua jadi takut sendirian di rumah." Aku mencari alasan.

"Oh. Besok aja Lang kalau mau nginep."

"Oke, sip!"

Kututup telepon. Terdengar suara gemuruh di langit. Sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di masjid. Lagian, masjid pun sudah terlihat sepi. Hanya ada beberapa jamaah saja yang menunggu waktu isya.

Aku mengendarai motor menuju kedai kopi. Saat melewati Blok A, dari kejauhan terlihat ada orang sedang berjalan dengan kaki picang. Seketika itu teringat omongan Cecep. Kupercepat laju motor, berniat melewatinya. Ia berhenti berjalan, lalu berdiri menghadap ke jalan, seperti ingin menyambutku.

Wus!

Angin dingin menerpa wajahku. Saat motor ini melewatinya, tercium bau darah. Dari ekor mata, jelas sekali telihat wajahnya yang hancur. "Astaghfirullah, itu Pak Ayman," batinku, sambil melaju ke arah pos satpam.

Aku berhenti sebentar di pos satpam untuk menyapa Cecep. "Mau ke mana, Lang?" tanyanya.

"Kedai."

"Bukannya tutup?"

"Masa?"

"Tuh liat aja!"

Aku melihat ke sebrang jalan. Benar, kedai kopinya tutup. "Kemarin si Iwan bilang mau buka dari siang. Kok jam segini udah tutup."

"Dari gua dateng juga udah tutup."

Kini aku bingung harus pergi ke mana. Pergi ke rumah saudara pun rasanya tidak mungkin. Di Jakarta hanya ada saudara dari ayah. Itupun semenjak ayah meninggal, aku jarang bertemu. Bahkan terakhir kali ke rumahnya saat lebaran lima tahun lalu. Jadi sangat tidak mungkin tiba-tiba datang ke sana untuk menginap. Sementara itu, saudara dari ibu kebanyakan tinggal di Bogor.

Di tengah kebingungan ini, tiba-tiba hujan turun. "Gua numpang neduh di sini, Cep," ucapku.

"Oke."

Aku turun dari motor dan duduk di pos satpam. "Lu ngapain ke kedai bawa tas, Lang?" tanya Cecep.

"Tadinya gua sekalian mau nginep di rumah temen. Eh, ternyata dia gak ada di rumah."

"Mending lu temenin gua aja di sini. Jaga komplek. Kalau mau, ntar kita patroli bareng."

"Ih, ogah amat. Emangnya Mas Andi ke mana? Dari kemaren kagak keliatan."

"Sakit, udah tiga hari. Gara-gara ngeliat yang lagi gentayangan."

"Siapa?"

"Itu yang insial A."

"Jangan pake insial itu lah." Aku protes karena nama ibu juga berawalan dengan huruf A.

Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang