9. Satu Fakta

1.4K 121 1
                                    

WARNING!! BANYAK MENGANDUNG TYPO! SILAKAN KOREKSI

Tepat pukul dua siang, Haikal pulang dari rumah Jeffry. Haikal saat ini sedang berjalan menuju rumahnya, sebenarnya, tadi sudah ditawari Rendi untuk pulang bareng, tapi tentu saja Haikal menolak dengan berbagai alasan.

Langkah Haikal terhenti, matanya tertuju pada wanita paruh baya yang hendak menyebrang jalan, tangannya membawa banyak barang, sepertinya wanita itu terlihat kesulitan. Haikal melangkahkan kakinya membantu.

"Ibu, mau nyebrang? Ayok, biar Haikal bantu," Wanita tadi mengangguk mengiyakan.

Tangan Haikal beralih mengambil barang yang ibu itu bawa. "Biar Haikal yang bawa,"

Haikal menuntun wanita itu menyebrang jalan. Tidak sampai disana, Haikal juga mengantar si ibu sampai dirumahnnya. Kebetulan rumahhnya tidak juh dari jalan tersebut.

"Terimakasih, Haikal. Kamu memang anak baik, ya. Orang tuamu pasti bangga punya putra sebaik kamu, nak," Wanita yang diketahui bernama Siti, mengelus lembut puncak kepala haikal.

Haikal tersenyum kecil, "InsyaAllah. Haikal nggak tahu apa yang harus dibanggain dari Haikal,"

Ibu siti menatap lekat haikal. Tersirat kesedihan yang amat dalam dari mata indah Haikal, "Masuk dulu, yuk. Haikal makan disini sekalian temani ibu,"

Haikal mengernyitkan kening, "Ibu sendirian?" Tanyanya ragu.

Ibu siti mengangguk, "Suami ibu meninggal dari beberapa tahun lalu, begitu juga anak ibu. Mereka terlibat kecelakaan fatal,"

Haikal tertegun. "Maaf, Haikal nggak tahu,"

Ibu siti menggeleng. "Nggak papa. Udah ayok!" Ibu siti menarik tangan Haikal, membawanya masuk kedalam rumah.

Haikal mendudukan dirinya di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya menatap sekeliling, banyak sekali perabotan jaman dulu, kebanyakan terbuat dari kayu. Rumah ini terbilang kecil, tapi sangat bersih dan rapi, haikal merasa, nyaman.

Ibu siti datang dengan membawa segelas air putih. "Maaf ya, ibu cuma ada air putih saja. Dan maaf juga rumah ibu sempit, barangkali haikal nggak nyaman,"

Haikal menggeeng pelan. "Nggak papa bu. Rumah ibu lebih nyaman dari rumah haikal," Haikal menegguk setengah air tersebut.

"Itu suami sama anak ibu?" Haikal menatap figura yang terapajang, itu merupakan yang paling besar dari yang lain.

"Iya. Mereka meninggal dua tahun lalu. Saat itu, ibu akan melahirkan ana kedua ibu, suami dan anak pertama ibu hendak menyusul ke rumah sakit. Tapi saat diperjalanan mereka terlibat kecelakaan beruntun, yang menyebabkkan keduanya meninggal ditempat," Bu Siti menghela nafas pelan. "Lalu anak kedua ibu yang baru lahir pun, ikut menyusul ayah dan kakaknya," Bu siti tersenyum getir, mengingat bagaimana dirinya dulu dberi cobaan bertubi-tubi.

Haikal menatap ibu siti sendu. "Ibu yang sabar ya. Dibalik ini semua pasti udah nyiapin rencana yang terbaik buat ibu,"

Ibu siti tersenyum kecil. "Haikal anak baik. Orang tua Haikal pasti beruntung punya Haikal,"

"Nyatanya mereka nggak seberuntung itu," Haikal berkata lirih.

Ibu siti mengernyit, "Kenapa, nak?"

"Mama meninggal saat melahirkan Haikal, dan Haikal terlahir buta. Kemudian saat umur Haikal lima belas tahun, Haikal dapat donor mata. Tapi, papa malah pergi nyusul mama. Abang semua nyalahin Haikal, mereka selalu anggap Haikal pembunuh atau pembawa Haikal," Haikal menunduk dalam, menahan buliran bening berharga itu agar tidak turun.

Ibu siti mendekat, tangannya emengelus bahu hiakal yang mulai bergetar. "Malang sekali, nasibmu nak,"

"Bagaimana mungkin ada seeorang kakak yang begitu pada adiknya sendiri. Haikal harus tabah ya, nak. Allah pasti udah menyiapkan ending yang indah untuk Haikal. Haikal cukup bersabar, bordo'a, dan jangan pernah menyimpan dendam," Bu siti membawa Haikal kedalam pelukannya. "Kalau Haikal sedih, Haikal bisa datang kesini, pintu rumah ibu akan selalu terbuka untuk Haikal,"

7 DAYS || REVISIWhere stories live. Discover now