Extra Chapter ||

1.1K 113 16
                                    

Minggu pagi yang suram pagi Jeffry. Remaja satu itu sudah siap dengan pakaian yang rapi, Ibunda tercinta-nya itu memintanya untuk mengantarnya arisan dengan Ibu-ibu komplek lainnya.

"Bunda ... Lama sekali!!?" Jeffry berdecak sebal, Ibunya itu sudah berdandan hampir dua jam lamanya.

"Udah loh ini," Aisyah menuruni tangga dengan anggung.

"Nda, mau arisan apa tebar pesona?" Jeffry menyipitkan matanya melihat Ibunya terlihat berlebihan dalam berdandan.

Aisyah terkekeh kecil, "Ouhh ... Mungkin mencari ayah baru untukmu?" Dengan jahil beliau mengedipkan sebelah matanya kemudian melangkahkan kakinya keluar meninggalkan Jeffry yang masih terbengong. "Jeff, Ayok atuh,"

"Nggak usah murung gitu. Bunda kan arisan di rumahnya tante Rindi, kamu nanti pergi main sama Rendi aja," Aisyah menatap Jeffry yang terlihat tidak bersemangat.

Jeffry mengedikkan bahunya, "Nggak ada Haikal, nggak seru," Ujarnya pelan.

Aisyah menatap sendu anak semata wayangnya, "Jeff, Udah satu tahun. Ikhlasin, ya?"

Memang, semenjak Haikal meninggal, baik Jeffry maupun Rendi keduanya menjadi pribadi yang sangat introvert. Bahkan saat di sekolah keduanya kerap dijuluki Coolboy. Mereka tidak lagi membolos, atau mengerjai guru-guru, mereka lebih banyak diam. Jeffry dan Rendi-pun jarang sekali keluar bersama lagi. Mereka akan bersama jika pergi ke rumah Haikal. Ya, efek atas kepergian Haikal memang sebesar itu bagi mereka.

.............

Jeffry dan Rendi sudah berada di dalam mobil, keduanya akan menemui Haikal, atas permintaan Rendi. Jalanan yang cukup macet membuat keduanya merasa bosan.

"Serobot aja Jep, ah!" Rendi memejamkan matanya kesal.

Alis Jeffry menukik tajam, "Lo mau mati, heh!?"

"Ayok! Susulin sahabat sejantung kita," Jawab Rendi tanpa menoleh.

Jeffry membuang nafas kasar, "Nggak gitu juga, Ren. Sabar, deh!"

Rendi menghela nafas, "Udah macet, depan lampu merah, lagi. Males banget, Tuhan,"

Jeffry berdecak, "Sabar Rendi, Lo niat ketemu Haikal nggak, sih!?"

Rendi tidak berniat menjawabnya, matanya kemali memejam berusaha untuk tidur. Namun sedetik kemudian kembali terbuka, "Jep, lo tahu? Sampai sekarang gue masih ngerasa kalau Haikal masih ada,"

Jeffry terdiam sejenak. Kepalanya menoleh menatap Rendi yang sedang menatap keluar jendel. Mulutnya mengeluarkan kekehan kecil, "Ternyata, gue nggak sendiri. Gue juga mikir gitu, Ren. Tapi setiap gue bilang gitu ke Bunda, pasti langsung di marahin,"

"Yeah! Gue juga selalu kena omel pas ngomong gitu ke mami," Rendi memijat pelipisnya lelah.

Jeffry menarik nafas panjang, "Salah kita juga, Ren. Semua itu karena kita belum bisa ikhlas atas perginya Haikal,"

Rendi mengangguk, "Hm, lo bener. Maybe kita harus belajar ikhlas. Gue takut Haikal nggak tenang karena keegoisan kita disini,"

"Tapi gue nggak tega lihat keadaan bang Johnny yang makin hari makin parah. Dia satu-satunya orang yang paling ngerasa bersalah disini. Mungkin bakal susah buat ikhlasin Haikal," Jeffry menatap Rendi dengan pandangan yang sulit di artikan, "Kita harus bantuin bang Johnny, Ren,"

Rendi mengangguk setuju, "Gimana caranya? Lo tahu sendiri, bahkan nggak ada yang berani deketin bang John kecuali keluarganya sendiri, dan ... kita?"

"Lama banget, sial! Gue mau tidur Jep, bangunin kalau udah sampai," Lanjut Rendi yang kembali memejamkan matanya.

Jeffry tak menjawab, matanya fokus menatap jalanan yang begitu ramai, tidak biasanya!

7 DAYS || REVISIWhere stories live. Discover now