satu

8.6K 1.1K 56
                                    

Ke Jakarta lagi.

Jerini memandang ke luar jendela. Pada langit biru dengan tebaran awan yang terlihat mirip gundukan kapas, tersebar acak melapisi langit. Pada hamparan luas yang membentang tanpa batas bernama angkasa. Sambil bertanya dalam hati, seperti apakah suasana di luar sana? Bagaimana rasanya bila sesuatu yang tak diinginkan terjadi? Sesuatu yang memaksa dirinya bersama seluruh penumpang terempas bebas tanpa tahu akan berakhir di mana.

Namun, andai semua itu benar terjadi, pasti tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya. Seperti yang dia alami kali ini. Setelah sekian lama, setelah semua perjalanan dinas ke kota-kota tempat kantor cabang perusahaannya berada, akhirnya Jerini dipaksa keadaan untuk kembali ke Jakarta. Kota tempat Gandhi berada. Suami yang dia tinggalkan begitu saja tanpa kepastian sejak dua tahun lalu. Dan kini dia tidak punya jalan lain kecuali menghadapinya.

Lalu, sebuah pengandaian muncul kembali di kepalanya.

Andai dia harus memilih, terempas dari pesawat ke langit luas dengan mempertaruhkan nyawa, atau menghadapi Gandhi, maka sekarang dia sudah yakin akan memilih opsi kedua. Ya kali dia mau mati konyol demi Gandhi! Tentu tidak. Pria berengsek itu sudah cukup menghina harga dirinya dengan perselingkuhan. Jadi Jerini tidak akan mau bertaruh nyawa demi dia.

Tiba-tiba pesawat terguncang meskipun pelan. Disusul suara pilot dalam gumaman yang sulit dimengerti orang awam. Lalu diikuti bunyi nada yang teramat khas, menggema dari pengeras suara. Sampai akhirnya suara merdu salah satu pramugari mengalun memenuhi ruang kabin.

"Para penumpang yang terhormat, saat mendarat sudah dekat ...."

Jerini secara refleks memperbaiki posisi duduknya dan mendengar pengumuman dengan saksama. Saat melirik jam tangan di pergelangan kirinya dia tahu kalau pesawat yang ditumpanginya ini mendarat tepat waktu. Dengan catatan tidak ada kecelakaan di landas pacu. Seperti sayap terbakar begitu menyentuh landasan, atau lebih tragis lagi, pesawat terbalik.

Duile! Ini pasti gara-gara aku kebanyakan nonton film dokumenter. Makanya otak larinya nggak jauh-jauh ke peristiwa kecelakaan pesawat melulu. Jerini nyengir tanpa sadar.

"Ada apa?" tanya suara bariton milik pria yang duduk di sebelahnya.

Jerini menoleh. "Ada apa apanya?" balasnya kembali dengan pertanyaan.

"Kamu tertawa."

Suara seberat itu pasti dihasilkan oleh laring yang tebal serta pita suara yang panjang. Dan seperti biasa, Cakra berbicara tanpa merasa perlu menatap lawan bicaranya. Membuat Jerini merasa sia-sia sudah berusaha menoleh di ruang sempit kursi kelas ekonomi sesuai nomor yang tertera di tikatnya.

"Saya nggak tertawa, Pak," katanya menegaskan, sambil melengos untuk kembali menatap ke luar jendela.

"Iya. Kamu tertawa." Cakra tidak menerima bantahan.

Jerini bahkan bisa membayangkan pergerakan jakun pria di sebelahnya. "Dari mana Pak Cakra tahu? Noleh aja enggak."

"Pokoknya saya tahu."

Bahasa pamungkas Cakra yang khas. Yang membuatnya sulit dibantah, apalagi diajak diskusi.

Jerini menoleh kembali dan mengamati tampak samping profil teman seperjalanannya ini. Dan kesimpulannya tidak berubah sejak berbulan-bulan lalu. Kaku. Hanya kata itulah yang paling tepat untuk mendeskripsikan sosok Cakra Maulana Ibrahim, pria yang per tahun ini menjadi atasan Jerini.

"Oke, saya memang tertawa. Tapi Pak Cakra pasti tidak ingin tahu alasannya."

Cakra pasti bosan sekali sampai urusan seperti ini harus dibahas. Mana Jerini mau meladeni pula.

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now