Sembilan

4.4K 1K 129
                                    

Ada beberapa alasan yang membuat Cakra merekomendasi Jerini ke marketing. Pertama karena Jerini berasal dari divisi itu sebelum menjadi stafnya. Kedua karena sekarang divisi tersebut dipegang oleh wanita senior yang dalam penilaian Cakra cukup bagus dan berwawasan luas. Karena marketing memang harus dipegang oleh orang yang gesit dalam mengikuti tren pasar dan bisa memahami konsumen dengan baik. Dan Bu Ida adalah orang yang tepat. Kualitas seperti Bu Ida inilah yang Cakra harapkan dari seorang kolega. Sehingga kalau nanti dia akan menyampaikan alasan tentang status Jerini yang sebentar lagi menjanda, dia berharap hal itu bisa ditanggapi secara objektif.

Cakra memahami kemampuannya sebagai moderate risk taker. Dia menilai langkah impulsive-nya saat menawari Jerini pindah divisi adalah sebuah tindakan masuk akal. Nilainya tidak jauh berbeda dengan adviceyang dia berikan secara spontan kepada para klien bisnisnya. Karena urusan Jerini dia posisikan sebagai urusan bisnis, maka dia tidak perlu khawatir karena dirinya cukup percaya diri kalau memiliki kemampuan mumpuni di bidang ini.

Memang benar, motivasi Cakra membantu Jerini agak bias karena terpicu oleh sentimen pribadi. Namun selama dalam koridor profesional yang tepat dan tidak merugikan siapa-siapa, kenapa tidak? Sebagai seorang anak yang dibesarkan oleh single parent, Cakra memang berempati dengan kondisi Jerini. Meskipun kondisi ibunya sedikit berbeda dengan stafnya. Dalam kasus ibunya, secara de facto beliau adalah seorang janda. Namun secara de jure beliau masih berstatus istri sah dari Naufal Maulana Ibrahim, ayah biologisnya.

Sejak kecil Cakra sudah kenyang melihat bagaimana ibunya difitnah dan dicerca karena statusnya yang dianggap tidak jelas. Dan juga menjadi sasaran empuk para perempuan pecemburu yang tidak rela suaminya sedikit memberi kebaikan atau perhatian kepada ibunya maupun Cakra. Seolah memberi uang receh yang tak seberapa itu merupakan indikasi kalau sang suami terpikat janda. Wanita dengan segala drama yang menyertai kehidupan mereka! Sudah terbukti sejak lama kalau status janda sangat tidak bersahabat bagi penyandang status itu dan anak-anaknya.

"Ada apa, Mas cakra? Kok tumben telepon saya?" sapa Bu Ida begitu mereka terhubung. "Apa udah bosen dikagumi cewek-cewek muda kinyis-kinyis, dan pengin nyobain saya yang udah emak-emak estewe –setengah tuwa—ini?" tanya wanita itu dengan nada bercanda.

Cakra tertawa kecil. "Ada keperluan, Bu."

"Jiah!" seru Bu Ida kecewa. "Saya sudah bermanis-manis gini, Mas Cakra lempeng-lempeng aja seperti biasa. Kecewa dong, saya."

Lagi-lagi Cakra tertawa kecil. "Maaf, Bu," katanya dengan sopan pada wanita senior itu.

Andai bisa pasti dia akan membalas gurauan Bu Ida dengan sama ramahnya. Sayangnya Cakra merasa dirinya terlalu membosankan untuk menanggapi obrolan dengan cara yang menyenangkan. Karena perbincangan bukannya jadi enak, malah aneh. Makanya selama ini dia selalu berusaha mempersingkat pembicaraan dan meminimalisir hal-hal tidak penting agar lawan bicaranya tidak tersiksa dengan kebosanan.

"Ini tentang salah satu staf saya yang sebelumnya saya rekrut dari bagian marketing. Jerini Lukmantari—"

"Ah, Mbak Rini. Kenapa emang?" Bu Ida langsung tanggap meskipun Jerini belum pernah menjadi salah satu stafnya.

"Dia mengajukan keberatan karena terlalu sering melakukan perjalanan bisnis bersama saya."

"Kenapa baru sekarang keberatan?" tanya Bu Ida lugas. "I mean, dia udah sering jalan bareng Mas Cakra. Udah kemana-mana berdua. Kalau keberatan normalnya sih sejak awal, ya. It seems inconsistent to me."

Cakra mengerjap. Women! Bahkan orang sebijak Bu Ida pun bisa berkomentar demikian. Cakra jadi paham kenapa Jerini mengambil sikap begini.

"Dia punya alasan pribadi yang bikin saya menawarkan untuk kembali ke posisi marketing karena ada Bu Ida. Juga karena staf Bu Ida mayoritas perempuan."

Cinta yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang