Enam Belas

4.8K 1.1K 104
                                    

Thanks karena ladenin chat gue di waktu selarut ini.

Jerini menambahkan. Dia bermaksud mengakhiri obrolan ini.

Gue lagi di US kok. Jadi skrg tengah hari.

Balasan Cakra membuat Jerini tertegun. Di US?

Ups.

Maaf kalau gue gangguin lo siang-siang gini.

C u next time.

Jerini membalas dengan cepat karena terlalu jaim untuk bertanya apakah US tempat Cakra berada beneran Amerika.

Never mind.

Gue msh hrs stay di sini sampe besok.

Lagi tugas negara nemenin putri mahkota.

Jumat gue udah di Indonesia. Di Surabaya.

Nah lho! Tugas negara banget kan? Jerini segera meloncat bangkit sambil mengerang frustrasi dan mengutuk kebodohannya sendiri. Dasar goblok! Padahal gue bisa telepon manajemen gedung apartemennya besok. Terus ngapain gue pakai nge-chat Cakra segala sih?

Dengan mengentakkan kaki Jerini bergegas ke kamarnya dan memaksa diri mengakhiri hari yang kacau balau ini dengan segera tidur. Bahkan kalau perlu dia akan minum obat demam yang memberi efek kantuk, biar bisa terlelap dan bangun pagi besok ketika hari telah berganti.

Untungnya opsi terakhir itu tidak perlu dia lakukan karena kelelahan fisik dan mental membuatnya terlelap begitu kepalanya menyentuh bantal. Namun tidurnya dihantui mimpi buruk. Seolah dirinya sedang berlari menghindari kejaran entah siapa dan tidak berhenti sampai napasnya terasa sesak sekali.

Jerini terbangun beberapa menit sebelum azan Subuh dengan tubuh meriang, kepala nyeri bagai dipalu, serta tenggorokan sakit bahkan untuk menelan ludahnya sendiri.

Fixed! Gue sakit!

***

Jerini memilih sweter rajut tebal, berharap benda itu bisa melindunginya dari dinginnya AC kantor yang biasanya oleh orang-orang di ruangan disetel dengan suhu yang lebih cocok untuk habitat makhluk kutub daripada manusia. Juga celana panjang berbahan tebal untuk menyembunyikan kaus kaki sport yang dia pakai di dalam sneaker-nya.

Saat menatap bayangannya di cermin, dia mengernyit melihat rambutnya yang mengenaskan. Akhirnya memutuskan memilih cara praktis dengan mengikatnya agar terlihat rapi meskipun sebenarnya kusut karena belum dia cuci. Boro-boro cuci rambut. Untuk mandi saja dia butuh perjuangan luar biasa, karena guyuran air membuat kulitnya nyeri bagai ditusuk ribuan jarum tak kasat mata.

Setelah memaksa diri makan selembar roti tawar yang terasa seperti kertas di mulutnya yang pahit, Jerini meminum sebutir obat demam. Dengan mengenakan masker demi mencegah apa pun yang bisa dicegah, sekaligus menyembunyikan wajahnya yang pucat dan tanpa makeup, Jerini merasa siap berangkat kerja. Dan tiba 10 menit lebih lambat dari jam kerja resminya.

Terlalu memaksa diri? Entahlah. Di saat sedang down begini, Jerini membutuhkan comfort zone. Dan kantor 1000 kali jauh lebih baik baginya daripada berdiam di kontrakan kecil tanpa AC yang di siang hari sungguh panas serta berisik ini. Apalagi dengan masalah yang terjadi antara dirinya dengan keluarga Mas Budi. Jerini sudah tidak bisa lagi mengandalkan "kebaikan" para tetangga yang dia yakin 100% akan berpihak pada Mbak Anggi dan menempatkannya sebagai penjahatnya. NO!

"Ya ampun, Rin! Kamu kenapa?" tanya Intan saat dia berdiri di sebelah kubikel Jerini.

"Jangan deket-deket, Tan," kata Jerini dengan suara serak. "Gue sakit."

Cinta yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang