Lima Belas

3.9K 1K 92
                                    

"Aku nggak kayak gitu, Tan ...," suara Jerini bergetar sambil menatap nanar pada Intan yang berdiri di dekat kubikelnya. Wajahnya pucat pasi saat semua orang yang berada di ruangan ini memandangnya dengan iba. "Kamu tahu kan, Tan? Kamu percaya kan, kalau itu semua nggak benar?"

Intan mengangguk lemah. "Maaf, Rin. Andai semalam aku temenin kamu, kejadiannya nggak bakal kayak gini," Intan menggeleng penuh penyesalan. "Padahal kamu sudah mengantisipasi biar nggak jadi fitnah dan menolak tawaran Mas Budi."

"Bukan salahmu, Tan," sahut Jerini masih seperti orang linglung.

"Intan tahu kejadiannya?" tanya salah seorang senior perempuan di ruangan itu.

"Tahu, Bu. Jerini sudah berusaha menolak Mas Budi," jawab Intan sedih.

"Mas Budi juga nggak salah. Dia baik dan polos. Saking polosnya sampai bego. Dan apa yang kelihatan di foto itu nggak kayak gitu kejadiannya. Itu nggak sengaja—"

"Oalah ... apes tenan awakmu, Rin!" potong sang senior sambil menggeleng-geleng masygul.

"Mungkin memang pengapesanku kayak gini, Bu," lanjutnya sambil mengempaskan diri ke kursi. "Semalam itu, motor Mas Budi goncang hebat banget. Motor tua itu. Lagi di jalan raya yang ramai. Jadi refleks aku pegangan—"

"Sudah, Rin. Jangan dibahas kalau itu bikin kamu tambah sakit hati," cegah Intan sambil membungkuk untuk mengambil HP Jerini dari lantai.

Kini Jerini dikelilingi teman-teman seruangan yang mayoritas perempuan. Yang memberinya dukungan karena ternyata di antara mereka juga banyak yang menjadi janda. Baik hidup sendiri maupun menjadi single parent yang berjibaku dengan pekerjaan karena harus membesarkan anak seorang diri.

Makasih ya, Cak. Keputusan lo mindahin gue ke sini adalah keputusan paling tepat buat gue. Karena gue merasa jauh lebih baik di sini, di antara perempuan yang support gue.

"Dewi sebenarnya nggak punya hak untuk menyebar berita seperti itu secara sembrono, Rin. Apalagi dengan menambahkan keterangan yang menggiring opini dan berpotensi jadi fitnah," ucap seorang senior bernama Bu Hesti. "Dia bisa ditegur kalau tuduhannya tidak terbukti."

"Saya belum tahu apa maksud Dewi. Saya memang janda. Namun—"

"Kami, insyaallah, paham kok, Rin. Emang jadi janda itu fitnahnya besar, dan semua itu harus dihadapi sebagai salah satu risiko. Pokoke awakmu kudu kuat!"

Jerini mengangguk.

"Ada apa ini?" tanya Bu Ida yang tiba-tiba muncul. "Waktunya istirahat kok malah ngumpul di—"

"Ini, Bu," potong Bu Hesti yang secara usia senioritasnya setara Bu Ida meskipun beda strata. Dengan singkat Bu Hesty menjelaskan apa yang terjadi dan Bu Ida menanggapinya dengan anggukan tanda mengerti.

"Ini bisa diproses kalau terbukti tuduhannya nggak benar. Karena termasuk dalam tindakan ngisruh," kata Bu Ida lugas. "Sayang Cakra lagi pergi. Nunggu dia balik saja, baru nanti coba aku hubungi Cakra."

"Langsung sama Pak Cakra, Bu?" tanya salah seorang staf dengan heran.

"Lha sopo maneh?" Bu Ida membelalak. Berbicara dengan logat Surabayanya yang khas. "Bos e Dewi iku Cakra. Bos e Jerini aku. Yo wes, aku ketemu Cakra ben jelas karepe opo." (Lha siapa lagi? Bosnya Dewi itu Cakra. Bosnya Jerini aku. Ya sudah, aku ketemu Cakra biar jelas maunya apa).

Seketika mereka manggut-manggut.

"Sekarang kalian makan aja. Ntar lemes lho. Soalnya kerjaan masih banyak. Sudah, nggak usah ditanggapi si Dewi iku. Simpan saja bukti kelakuan dia biar nanti bisa aku tunjukin sama Cakra."

Cinta yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang