Dua

5.2K 1.1K 71
                                    

Dua minggu sebelumnya.

"Jadi fixed ya, Cabang Tangerang harus dievaluasi," Fattah Rahardja, orang nomor satu di Rahardja Industrial Estate menatap para bawahannya.

Sore ini Jerini menemani Cakra dan Bima menghadiri rapat para manajer bersama CEO. Dan alangkah terkejutnya Jerini ketika yang dibahas adalah Cabang Tangerang. Laporan produktivitas yang buruk dan penjualan tidak memenuhi target adalah kartu mati yang membuat cabang bersangkutan berisiko ditutup.

Dan sekarang giliran cabang yang dikelola Gandhi yang akan dieksekusi.

Gandhi memang berpotensi untuk menghancurkan kariernya sendiri. Itu sudah Jerini duga sejak lama. Meskipun butuh waktu dua tahun bagi perusahaan ini untuk membuktikannya.

Pada saat huru-hara pernikahan mereka terjadi, yang menyebabkan keduanya pisah rumah meskipun belum bercerai, Jerini memang menghadap ke bagian personalia. Tujuan awalnya adalah untuk meminta mutasi. Di antara semua masalah yang membuatnya hampir gila, dia tidak ingin satu kantor dengan Gandhi. Tidak tahan.

Namun Pak Syafril, manajer personalia saat itu, meminta Jerini untuk bersabar dan menjamin kalau mutasi bagi mereka berdua pasti terjadi. Pria paruh baya itu bersimpati pada masalah yang menimpanya dan berbaik hati membocorkan rahasia perusahaan yang sedang dalam masa kritis karena akan dibeli oleh perusahaan besar yang berkantor pusat di Surabaya.

"Nggak lama lagi kantor pusat ini hanya akan jadi kantor cabang. Cabang Jakarta. Beberapa orang yang bagus akan dimutasi ke kantor pusat di Surabaya sana bila bersedia," kata Pak Syafril dengan sabar. "Apa kamu mau saya masukkan ke dalam daftar itu? Karena kamu bagus, Rin. Semua manajer merekomendasikan kamu. Berbeda dengan suamimu yang setelah ini akan dimutasi ke Tangerang karena hasil evaluasi kerjanya kurang."

Tentu saja Jerini menerima tanpa pikir dua kali. Dan begitulah semua itu terjadi. Setelah Gandhi dimutasi ke Tangerang, Jerini pun bertolak ke Surabaya. Mereka hanya berpisah tanpa bercerai, meski saling menutup jalur komunikasi.

Hingga sekarang. Dua tahun kemudian.

"Rin," bisik Bima yang duduk di sebelahnya. "Udah kamu catat semua kan?"

Jerini tergagap. Terlalu larut dalam pikirannya sendiri membuatnya lupa pada tugas utamanya. "Maaf—"

"Aman. Nih," Bima mengerling sambil tersenyum, menyodorkan catatan di jurnalnya. "Aku bukan berbaik hati ya. Aku cuma males aja dengerin kalau nanti Cakra marah-marah," canda sang deputi CSO, mengomentari atasan mereka dengan suara berbisik.

Cakra memang bukan atasan yang cerewet dan pemarah. Malah lebih terkesan pendiam. Namun saat terjadi konflik, jangan tanya bagaimana kemarahannya. Biarpun kata-kata yang dilontarkan hanya sedikit, namun tak mengurangi ketajamannya yang bisa bikin merah telinga.

"Thanks, Bim." Jerini tersenyum geli sambil mulai membaca catatan Bima. Sampai dia tiba di kesimpulan akhir. Mendatangi kantor Cabang Tangerang!

Ha?

Tiba-tiba Jerini merasa dadanya sesak. Setelah sekian lama, Gandhi ternyata masih memberinya efek yang seperti ini. Waktu dua tahun ternyata tak cukup untuk membuatnya kebal dengan masa lalu beserta rentetannya ini. Membuatnya sadar kalau luka hatinya memang belum sembuh.

Mungkin memang there's always one person that left too much memories in your life and you can't just erase it. Nggak semudah itu!

Dua minggu kemudian, setelah berhari-hari kepalanya terasa sakit karena memikirkan segala kemungkinan yang terjadi saat harus bertemu kembali dengan Gandhi, serta malam-malam panjang yang dia lalui dengan kualitas tidur yang buruk akibat mimpi buruk, perjalanan ke Cabang Tangerang itu akhirnya harus dia lakukan juga.

Cinta yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang