Tujuh Belas

5K 1.1K 85
                                    

Konfirmasi dari Hendra muncul keesokan harinya. Bahkan pria itu juga menyertakan video home tour ke unit dengan single bed room seluas 30 meter persegi tersebut.

Sambil bergelung di bawah selimut, Jerini menonton videonya dengan saksama. Lalu mencoba browsing ke tempat-tempat lain untuk mencari perbandingan. Sampai beberapa kali pun melihat tempat lain, seleranya selalu kembali ke unit yang ada di gedung tempat Cakra tinggal itu. Memang kesan pertama itu begitu kuat dampaknya ke ingatan. Membuat susah berpaling.

Akhirnya Jerini menyerah dan mengakui kalau tempat yang ditawarkan Hendra tersebut memang paling cocok dengan seleranya. A bit pricey, tapi worth it.

Secara logika, Jerini tidak bisa menghalau rasa heran pada campur tangan Cakra yang dia nilai keterlaluan ini. Namun yang membuat Jerini benci adalah kenyataan kalau keputusan Cakra ini benar. Cakra sudah mempertimbangkan kemampuan finansial Jerini sesuai dengan gaji yang dia terima selama ini. Apalagi di saat ini, cari apartemen yang disewakan dan cocok tidaklah gampang. Kebanyakan unit yang ada untuk dijual.

Terkhusus opsi terakhir ini, Jerini masih harus berpikir puluhan kali karena bahkan sampai saat ini pun dia masih ragu akan tinggal di mana setelah ini. Karena sejak awal kepindahannya, Surabaya hanyalah kota pelariannya. Bukan tempatnya untuk berlabuh. Memang pikiran ini terasa absurd mengingat pekerjaannya di sini. Namun Jerini memiliki keyakinan bahwa tempat ini hanyalah persinggahan sementara saja.

Dilihat dari sudut mana pun, apartemen ini sangat layak untuk dimiliki. Lokasi oke, harga affordable, dan full furnished. Poin tambahan yang sangat dibutuhkan oleh Jerini. Wanita itu seperti bisa mendengar Cakra berkomentar mengejeknya: emang lo mau angkut perabotan lo dari kontrakan itu?

Sialan! Jerini tanpa sadar cemberut pada obrolan imajinasinya bersama Cakra. Mau angkut perabotan? Spring bed murahan? Meja makan plastik? Kipas angin yang dia beli dari marketplace murah meriah? Juga perabotan plastik seadanya ala anak kos? Jerini bahkan masih ingat sekali komentar Cakra tempo hari, ketika mengantarnya pulang bersama Menik.

"Serius, lo tinggal di tempat kayak gini, Je?" tanyanya sambil mengangkat alis dengan lebai. "Gue tahu gaji lo berapa! Dan gue tahu lo mampu banget kalau tinggal di gedung apartemen gue," ucapnya saat Jerini hendak protes.

Memang, Jerini akui kalau hidup di kontrakan sangat jauh dari standar hidupnya semula. Di kontrakan, kemawahan Jerini hanya sebatas kulkas ukuran mini. Yang sering dituduh biang kerok pemborosan listrik oleh tetangga sebelah, karena di tempat ini listrik masih digabung satu meteran untuk dua rumah. Biasanya Jerini membayar saja kelebihan biaya pulsa listrik tanpa ribut-ribut. Menganggapnya sebagai ongkos sosial yang harus dia keluarkan.

Dulu Jerini mengabaikan ketidaknyamanan di kontrakan karena dia memang butuh lingkungan "normal" dalam arti banyak orang, banyak tetangga, dengan tingkat keberisikan yang akan membuatnya terhindar dari rasa kesepian yang teramat sangat. Jerini pergi ke Surabaya dengan perasaan hancur-lebur seperti orang yang tak diinginkan. Terbuang secara paksa dari habitatnya semula. Terusir dengan hina padahal bukan dia yang salah.

Jerini butuh orang lain yang membuatnya merasa "waras" dengan mengais kebaikan yang berhasil dia dapatkan dari uluran persahabatan keluarga kecil Mas Budi. Saat itu pula Jerini sadar bahwa kariernya yang bagus, gajinya yang lumayan, aset serta tabungan yang dia miliki, sama sekali tidak bisa membeli kebahagiaan. Juga tidak sanggup menyembuhkan luka hati yang dia rasakan.

Sepertinya masa-masa itu sudah berakhir bagi Jerini. Ketika lingkungan kontrakan tak terasa nyaman lagi baginya. Dan dia membutuhkan tempat lain yang membuatnya bisa bebas menjadi diri sendiri lagi. Tanpa khawatir menjadi omongan para tetangga.

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now