Tujuh

4.8K 1.1K 110
                                    

"Serius kalian cuma nagihkan tiket pesawat saja ini, Rin? Perusahaan ini kaya banget, lho. Kenaken—keenakan—perusahaannya kalau pegawainya jujur kacang ijo kayak bosmu iku," komentar Mbak Ratna dengan logat Surabayanya yang khas.

Jerini mengangguk. "Aku isi form sesuai kenyataan, Mbak."

Sejak tinggal di Surabaya, Jerini harus mulai terbiasa ber-aku kamu dengan orang lain tanpa merasa berlebihan. Padahal kalau di Jakarta, penyebutan aku-kamu sungguh sangat ekslusif, privilese para pasangan atau untuk menunjukkan kedekatan hubungan kekeluargaan maupun pertemanan.

"Terus kalian nginep di mana?" lanjut Mbak Ratna, yang kepo dengan cara halus sekali.

Jerini langsung ngakak. "Hayo .... Di mana hayo?" godanya.

Dia paham sekali kalau pertanyaan Mbak Ratna sebenarnya hanya retoris belaka. Karena wanita itu sudah hafal dengan jawabannya.

"Dari awal kan aku udah bilang, kami bakal nginep di mes milik Cabang Jakarta," lanjutnya. "Emang Mbak Ratna pikir di mana? Di kolong jembatan? Ono-ono ae sampean iki –ada-ada saja kamu ini—, Mbak." Jerini menirukan logat Mbak Ratna.

Wanita itu langsung cemberut sambil memelototinya. "Ojo sok medok, koen –jangan sok medok, kamu. Nggak enak didenger kuping, Rin," hardiknya kesal.

Jerini tertawa. Dua tahun tinggal di sini membuatnya familier dengan boso Suroboyan yang memiliki kemedokan unik. Beberapa kali dia mencoba bertutur dengan dialek tersebut hanya untuk membuatnya ditegur sebagaimana yang dilakukan Mbak Ratna barusan.

"Iki lho, bosmu. Nggantheng-nggantheng tapi pelitnya naudzubillahimindzalik. Kayak nggak modal blasgini," Mbak Ratna meneliti form standar perusahaan yang tadi diisi Jerini dengan saksama.

Wanita yang duduk di depan Jerini ini orang yang sangat teliti serta detail. Nggak heran kalau hal-hal yang terkesan janggal begini akan menjadi fokus perhatiannya untuk diperiksa.

"Orang lain kalau mengajukan perjalanan dinas, tagihannya gila-gilaan. Yang hotel lah, yang taksi, buah tangan buat klien, emboh opo ae yang ditagihno sampai mumet aku," omelan Mbak Ratna masih berlanjut ke session berikutnya. "Sedangkan versi bosmu ini irit banget dan ekonomis. Minder lah aku kalau harus submit ke bagian keuangan. Sak uprit. Cuma tiket pesawat. Memangnya kalian untuk perjalanan dari dan ke bandara ngesot apa? Kok blas nggak ada ongkos taksi. Ya, minimal bus Damri apa gimana."

Jerini tergelak-gelak oleh omelan Mbak Ratna. "Kan seperti biasa, sudah dijemput sama sopir dari kantor cabang. Ya masa kami jalan kaki."

"Masalahnya, yang kayak gini bikin laporan kelihatan nggak riil, Rin. Ujung-ujungnya aku yang kena ceramah bagian keuangan. Kok bisa yang sana boros yang sini enggak? Kok bisa yang sana minta semua ditagihkan, sedangkan yang sini cuma ini tok?"

"Ya bilang aja, Mbak, kalau kamu cuma bagian nyatet, nggak bertanggung jawab sama angka yang ditulis di situ."

"Lha terus siapa yang tanggung jawab? Koen?"

"Lha lah po aku –ngapain saya—?" Jerini ngeles sambil tertawa. "Pak Cakra lah yang tanggung jawab. Aku cuma kacung yang manut juragan mau jalan ke mana."

"Lambemu, Rin!" Mbak Ratna tertawa terbahak-bahak. "Ancen kok—emang kok—, juraganmu ini, pelitnya kebangetan."

"Bukan pelit, Mbak."

"Kan? Juragan ngganteng, dibelain kacungnya," ejek Mbak Ratna.

"Ngganteng itu perkara kedua. Perkara pertama, ya beda kasta sama pegawai lain, Mbak," Jerini cekikikan. "Orang-orang cabang, begitu ada berita kami mau datang, langsung siap-siap nawarin fasilitas. Jadi udah nggak repot urusan transportasi. Bahkan untuk urusan makan selama dinas, kalau kami muka tembok, pasti minta apa aja bakal mereka turuti."

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now