Sepuluh

4.1K 1K 71
                                    

"Masih menghindari nasi, Je?" tanya Cakra saat mereka sudah berada dalam mobil yang meluncur meninggalkan kawasan kantor.

"Masihlah, Pak," sahut Jerini santai. "Saya baru cheating kalau weekend."

"Ini kamu mau saya traktir. Masih nggak mau cheating?"

Jerini menggeleng sambil tertawa. Try me and I reject. "Jangankan Pak Cakra yang cuma traktir saya. Saya dikasih beras zakat fitrah juga saya tolak, Pak."

Kali ini Cakra tertawa keras sekali. Jerini sampai kaget karena tidak menyangka kalau suara pria di sampingnya ini empuk luar dalam. Empuk saat sengak, empuk pula waktu ngakak. Suaramu juara, Bos!

"Janda kayaknya nggak masuk golongan penerima zakat, Je. Kecuali janda miskin, kayak ibu saya dulu. Ada-ada saja kamu," kata Cakra masih sambil tertawa. "Bentar lagi kita sampai ke pertigaan. Tentukan pilihan kamu, mau makan apa. Kita ke kiri apa ke kanan."

"Jadi saya beneran boleh milih mau makan apa? Wah, terima kasih," seru Jerini.

"Kan buat rayain kebebasan kamu, Je. Kamu pilih sendirilah mau makan apa."

"Oke, sip!" Jerini mengacungkan jempol penuh semangat. "Emang Bima tadi disuruh pergi ke mana sih, Pak?"

"Ketemu salah satu calon klien Pak Rahardja di Hotel Floris."

"Berarti kita ke kiri aja, Pak. Makan lontong balap yang nggak jauh dari situ."

"Oke," Cakra tersenyum dan segera berpindah jalur ke sisi kiri. "Telepon Bima, kabarin ke mana dia bisa join. Siapa tahu dia bisa ikutan."

"Dengan catatan dia tidak keburu ditawari makan siang sama klien," kata Jerini sambil mulai memencet-mencet HP-nya.

"Kalau saya jadi Bima sih, mending menolak tawaran makan siang. Selain itu orang belum tentu jadi klien kita, selera dia buruk."

"Kok tahu?" tanya Jerini sambil menunggu Bima menerima panggilannya.

"Karena menginap di Hotel Floris. Fasilitasnya jelek dan makanan di restorannya tidak enak. Padahal banyak hotel di sekitar situ yang lebih bagus dengan harga yang sama. Kenapa itu orang pilih Floris?"

Bima menjawab teleponnya. Dan sesuai dugaan Cakra, Bima menerima ajakannya meskipun mungkin agak telat gabung.

"Mungkin orang itu, si calon klien, nggak tahu, Pak. Bukan karena seleranya yang buruk," Jerini menanggapi statement Cakra setelah menutup obrolan dengan Bima. "Sekarang ini banyak banget aplikasi yang asal kasih rekomendasi—"

"Dia orang bisnis, Je," potong Cakra luwes. "Dalam bisnis setiap keputusan itu harus dipikir matang. Karena pebisnis itu orang yang memiliki DNA yang beda dari orang kebanyakan. Mereka unik dan sangat spesifik. Untuk urusan memilih tempat menginap contohnya. Ada banyak jalan untuk mengetahui informasi tentang sesuatu dan tidak hanya mengandalkan informasi dari aplikasi. Kalau orang ini berniat kerja sama dengan Rahardja Industrial Estate, dapat dipastikan dia mengerti soal properti."

Jerini manggut-manggut meskipun tidak bisa sepenuhnya sependapat dengan Cakra. "Bisa jadi orang itu memang sedang menjajagi Hotel Floris juga, Pak. Semacam sekali jalan dapet dua peluang. Floris iya, Rahardja Estate juga iya."

"Excatly. Saya bisa mengerti kalau kasusnya begitu," kata Cakra. "Dan kalau benar itu yang terjadi, maka hampir bisa dipastikan dia nggak bakal jadi klien kita. Strategi bisnis Rahardja berbeda 180 derajat dengan jaringan Floris. Pak Rahardja nggak bakal suka itu. Makanya masuk akal kenapa Pak Rahardja cuma minta saya kirim staf, bukan saya atau beliau untuk bertemu secara langsung."

"Oalah, begitu? Pantesan!" Jerini manggut-manggut.

Tapi pusing banget ngikutin cara pikir orang-orang kayak begini. Perkara pilihan tempat menginap saja bisa menimbulkan persepsi yang jauh berbeda.

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now