Sebelas

3.8K 1K 209
                                    

Setiba di depan rumah Mas Budi, Mbak Anggi menyambutnya dengan senyum ramah.

"Tumben mampir, Rin," sapa wanita itu sambil cipika-cipiki dengan Jerini.

"Aku akhir-akhir ini agak sibuk lembur, Mbak."

"Yo ngono, lembur sing akeh ben duite numpuk," (Ya gitu, lembur yang banyak biar duitnya numpuk) canda istri Mas Budi.

"Aku aminkan aja deh. Siapa sih yang mau nolak duit?" Jerini terkekeh. "Mana Menik?"

"Itu, lagi ngambek di dalam," kata Mbak Anggi sambil menunjuk ke ruang tamu kontrakan yang sempit.

Terlihat gadis cilik yang belum genap dua tahun sedang berguling-guling di lantai. Lucu sekali. Karena meskipun mulutnya merengek, mata si Menik sama sekali kering tanpa air mata. Dasar! Jerini seketika ngakak dibuatnya.

"Aku samperin Menik ya, Mbak?"

"Iya, samperin aja. Tolong bujuken, bek-bek e iso meneng –tolong kamu bujuk siapa tahu bisa diam. Kesel aku seharian karena dia rewel banget."

Jerini tertawa sambil mendekati si bocah. "Lho, Menik, kenapa kok nangis? Lihat ini, bedakmu luntur karena nangis. Jelek jadinya."

Dasar Menik, dengar kata "jelek" seketika diam. "Aku yo, nggak nangis. Yo, nggak ada aiy matanya," ucapnya dengan suara cadel khas anak-anak, sambil mengusap pipi serta menunjukkan tangannya yang kering kepada Jerini. "Aku nggak jeyek, Tante Yinyin. Mama yang jeyek."

"Yo kamu yang jelek, Nik," balas Mbak Anggi yang masih keki oleh kelakuan anaknya. "Rewel dari tadi. Pegel kuping Mama denger kamu nangis terus."

"Tante Yinyin, Mama yo, jeyek. Mayah-mayah teyus!"

"Noh, ngadu ya, sama Tante Rinrin! Kamu ntar tak kasih orang lho, lek rewel terus."

"Dikasih ke Tante Yinyin, Ma?" tanya Menik dengan sorot mata penuh harap.

"Yo enggak. Dikasih ke pemulung sana! Keenakan kamu dikasih Tante Rinrin. Manja!"

Tangis Menik seketika pecah lagi. Membuat Jerini semakin ngakak. Nggak anaknya nggak ibunya, sama aja kalau lagi capek. "Memang kenapa sih, Mbak? Kok rewel begini?"

"Seharian rewel banget, Rin. Minta jajan di Indomaret," kata istri Mas Budi sambil nyengir. "Lha gimana? Kemarin sudah jajan ke sana habis 50 ribu. Emboh opo ae sing dituku—entah apa saja yang dibeli. Mosok yo sekarang minta jajan ke sana lagi. Bangkrut bandare. Ayahe bisa plontos botak rambute rontok nuruti njajane anak!"

Kemeriahan di keluarga kecil ini membuat Jerini betah.

"Mbak, kalau nanti aku jadi keluar, boleh nggak aku ngajak Menik? Tak jajanin juga, apa boleh?"

"Boleh, tapi jangan terlalu dimanja. Ben nggak tuman. Dikiro nanti semua mau dia dituruti."

"Yo wes, aku pulang dulu. Nanti kalau jadi keluar, Menik tak samperin."

Jarak kontrakan Jerini hanya empat rumah jauhnya. Makanya dia segera bergegas pulang dan segera membersihkan dirinya yang lengket oleh keringat di kamar mandi. Hawa Surabaya yang di luar dugaan jauh lebih panas dari Jakarta memang membuatnya cukup tersiksa di awal kepindahannya. Apalagi dia juga ngontrak di rumah yang tidak memungkinkan untuk memasang AC. Kadang kalau dikatakan Jerini cari penyakit dengan menyiksa diri sendiri memang tidak ada salahnya kok. Nyatanya semua itu dia niatkan sendiri.

Namun sekarang dia sudah bisa menerima kondisi ini dengan lebih baik. Tidak keberatan meskipun di kontrakan hanya bermodal kipas angin yang dia pasang di setiap penjuru ruangan. Juga mulai nyaman meskipun apa yang dia miliki sekarang jauh di bawah standar hidupnya dulu. Dan itu bukan karena dia tak mampu. Jerini hanya tidak mau!

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now