Lima

4.4K 1K 103
                                    

Cakra duduk tafakur di tepi ranjang kamarnya. Telinganya menangkap suara aktivitas Jerini di kamar seberang. Kamar yang dia siapkan untuk ibunya, meskipun wanita malang tersebut tidak pernah memiliki kesempatan untuk menginjak tempat ini.

Rencana hidup Cakra telah tersusun rapi sejak dia terdaftar sebagai mahasiswa FEB UI. Kesulitan hidup yang dia alami sejak kecil menjadikannya pribadi yang serius dan ambisius demi mengubah nasib. Maka ketika dia berhasil lulus dengan predikat summa cum laude, jalannya mendapatkan pekerjaan terbaik pun terbuka lebar.

Dua tahun pertama sejak kelulusannya dia habiskan sebagai staf business development di perusahaan oil and gas. Namun posisi itu tidak membuatnya puas. Jadi Cakra pun melanjutkan pendidikan dengan jalur beasiswa untuk meraih gelar MBA di National University of Singapore. Lagi-lagi dia lulus dengan nilai cemerlang, yang mengantarnya menjadi salah satu pegawai di biro konsultasi manajemen global asal Amerika, McKinsey. Pekerjaan impian yang dia bidik sejak lama.

Sesuai ekspektasi, McKinsey adalah tempat kerja terbaik bagi Cakra. Karena selain memberi pengalaman bekerja yang challenging, di perusahaan itu pula Cakra belajar memahami mana pekerjaan yang world class, dan mana yang medioker. Kerja long hours tak membuatnya gentar, justru semakin tertantang. Apalagi kalau mendapat client on site yang mengharuskannya bepergian ke segala penjuru pulau di Indonesia. Dan yang membuatnya semakin nyaman adalah saat hasil kerjanya mendapat feedback dan diapresiasi dengan baik oleh para bos maupun partner.

Di usianya yang masih muda, perjalanan bisnis semacam itu selalu membuatnya excited karena seperti jalan-jalan. Senin subuh meluncur ke bandara, dan di hari Jumat baru balik ke Jakarta. Mengumpulkan milespesawat dan memecahkan rekor pribadinya ketika dalam masa enam bulan saja membership-nya sudah ter-upgrade menjadi platinum. Yang membuatnya bisa menikmati berbagai fasilitas ekslusif di bandara. Meski untuk itu hampir setiap Senin dia harus bangun pukul 3 demi mengejar penerbangan pukul 5 pagi.

Pengalaman kerja di McKinsey menjadi benchmark employer Cakra berikutnya.

Namun sayangnya, kemajuan kariernya tersebut tidak linier dengan kehidupan pribadinya. Kesibukan yang luar biasa membuatnya semakin jauh terpisah dengan Ibu. Sulitnya meluangkan waktu bersama membuatnya semakin jarang berkunjung ke Ibu. Lagipula Ibu begitu keras kepala. Alih-alih menerima tawaran ikut Cakra untuk hidup lebih makmur di Jakarta, beliau memilih tetap tinggal di Surabaya bersama majikan yang sudah beliau anggap keluarga sendiri. Dan Cakra tidak berdaya menentang permintaan ini.

"Sama saja, Cakra. Di Jakarta Ibu juga nggak ada teman karena kamu pergi terus. Sedangkan di Surabaya, Ibu banyak teman. Bisa ngobrol setiap hari. Ntar kalau kamu kangen, kamu bisa pulang sewaktu-waktu."

Cakra tak bisa menyalahkan ibunya karena memang seperti itulah kondisi hidup mereka. Namun tiga tahu lalu Cakra nekat. Capek karena harus membayar sewa apartemen, akhirnya dia memutuskan sekalian membeli satu unit yang kebetulan sesuai dengan kriteria yang dia inginkan. Salah satunya harus memiliki dua kamar, cukup luas dengan dapur yang bagus, dan berlokasi di daerah elit. Agar dia sewaktu-waktu bisa memboyong ibunya untuk tinggal bersama. Cakra yakin lama-lama ibunya akan luluh dengan permintaannya dan mau pindah untuk hidup bersamanya. Dan dia juga berjanji suatu hari nanti akan membeli rumah tapak yang jauh lebih besar lagi. Dan tentu saja lebih nyaman.

Begitulah rencana awalnya. Yang ternyata tidak berjalan mulus karena lagi-lagi karena Cakra begitu sibuk dengan pekerjaan yang waktu itu mengharuskannya bepergian keliling Indonesia maupun manca negara, membuat proses renovasi interiornya baru selesai enam bulan berikutnya. Untungnya Ibu sangat memahami Cakra dan dengan sabar menunggu kapan pun putra tunggalnya itu punya waktu untuk menengoknya.

Cinta yang SederhanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang