Delapan

4.2K 1K 69
                                    

Bima menatap Jerini dan Cakra bergantian dengan ekspresi penasaran yang sungguh otentik. "Kalian pesennya samaan," komentarnya yang seolah diucapkan secara tak sadar.

"Kenapa?" balas Cakra. "Kamu pengin saya pesenin juga?"

Heh? Sekarang Ganti Jerini yang terbengong-bengong penasaran. Ini bos ngelawak apa gimana sih? Namun sebelum Bima sadar untuk menjawab, Cakra sudah memanggil kembali pelayan warung.

"Krengsengannya nambah satu lagi, Mas," ucapnya dengan nada biasa. Seolah memesankan makanan bagi para staf ada dalam salah satu job desk-nya.

"Nggak pakai nasi juga, Mas?" tanya pelayan.

"Yang ini pakai nasi. Sama ekstra sambal dan acar yang banyak. Atau mending sajikan aja di mangkuk terpisah. Karena yang makan orangnya suka boros dan nggak ukuran. Jadi sambal dan acarnya ntar juga dihitung terpisah, oke?"

Bima ternganga mendengar dialog Cakra dan pelayan warung.

"Oh ya, minumnya teh tawar dengan es batu yang banyak."

Si pelayan tertawa. "Oke. Siap, Mas."

Begitu pelayan itu pergi, Jerini menatap Cakra dengan keheranan yang tidak ditutup-tutupi. "Bim," panggilnya pada sang deputi. "Kamu paham kan kalau sambal sama acarnya harus dibayar ekstra?"

"Hah?" Bima masih belum sadar dari syoknya. Dan masih terbengong-bengong menatap Cakra.

"Harus itu," sahut Cakra lempeng. "Kondimen itu kalau porsinya normal memang gratis karena sudah masuk dalam hitungan harga pokok produk. Tapi kalau sudah melebihi batas, kamu harus bayar ekstra, Bim. Jangan suka seenaknya sama pedagang kecil."

Ini Cakra sedang menyampaikan hasil analisisnya?

"Oke, Pak. Siap," Bima mengangguk mantap. "Cuma yang saya heran, gimana Pak Cakra bisa hafal semuanya? Perbedaan antara pesanan saya sama Jerini maksudnya."

"Saya nggak perlu menghafal kok," jawab Cakra sambil menggeleng tak acuh. "Terjadi begitu saja karena keseringan makan di sini sama kalian. Dan itu bukan hal yang aneh jadi nggak usah heran."

Semua antusiasme yang muncul di antara Jerini serta Bima redup seketika seperti api disiram seember air. Cakra memang benar-benar nggak asyik banget buat seru-seruan. Dan Jerini mencibir sambil melirik Bima yang sedang cemberut.

Tak lama kemudian pesanan mereka akhirnya diantarkan. Lengkap dengan sebotol kecap serta saus sambal, yang mengingatkan Jerini akan kesukaan Bima yang berlebihan pada kecap. Dan karena Cakra baru saja membahas soal kondimen tralala dengan segala analisisnya itu, membuatnya ingin sedikit mengisengi teman kerjanya. Jadi ketika Bima dengan penuh semangat meraih botol kecapnya, buru-buru Jerini menginterupsi.

"Ingat, Bim. Ambil kecap secukupnya aja. Sewajarnya. Emang kamu mau kena charge tambahan juga buat kecap?" sindir Jerini.

"Sialan," sembur Bima kesal. Namun dengan patuh dia menuang kecap sewajarnya di atas piring.

"Lagian kamu juga aneh. Sok pilih teh tawar karena takut gula, tapi tuang kecap kalau makanannya nggak sampai item nggak lega. Kecap kan gula juga," komentar Jerini sambil mulai menyuap makanannya.

"Itu karena gratis," sahut Cakra tak terduga.

"What?" Jerini memelotot heran.

"Teh tawar. Bima pilih teh tawar karena gratis. Bukan karena peduli sama gula." Bahkan Cakra tidak mengangkat muka sama sekali. Pria itu melanjutkan aktivitasnya menyendok makanan dengan tenang tanpa terdistraksi.

"Nggak gitu juga kali, Pak," protes Bima. "Karena kecap udah manis, makanya saya pilih teh tawar biar nggak dobel manis. Lebih sehat juga."

"Sehat apanya?" balas Cakra. "Minum teh habis makan malah bahaya. Cari lagi informasi kesehatan yang bener biar nggak malu-maluin kalau ngomong."

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now