Enam

4.5K 1.1K 81
                                    

Jerini bertemu dengan pengacara yang dijanjikan Cakra tempo hari. Pria bernama Ardian Subagja itu memperkenalkan diri dengan sopan sebelum membahas rencana Jerini untuk menggugat cerai Gandhi.

Dulu, sebagai orang awam, Jerini termasuk dalam golongan orang yang takut berhubungan dengan pengacara, polisi, atau orang-orang yang berasal dari dunia hukum. Karena menurutnya bersinggungan dengan mereka hanya mengindikasikan satu hal, yaitu masalah. Masalah yang melibatkan biaya mahal.

Sekali dia bersinggungan dengan urusan begini ketika Gandhi melanggar lalu lintas yang membuatnya ditilang polisi. Polisi menawarkan dua opsi, tilang di tempat atau sidang. Ketika Gandhi memilih opsi kedua dengan alasan jauh lebih murah, ternyata prosesnya lebih berbelit dan makan waktu. Yang ujung-ujungnya harus bayar juga. Yang kalau dikalkulasi ulang, biaya mondar-mandir serta waktu yang digunakan nilainya jauh lebih mahal dari tilang di tempat.

Hal itu sudah cukup menjadi pengalaman tidak menyenangkan bagi Jerini. Membuatnya berhati-hati agar jangan sampai melanggar hukum atau melakukan sesuatu yang membuatnya harus berhadapan dengan proses hukum. Dalam kehati-hatian itu Jerini kerap kali merasa perlu mengingatkan Gandhi agar mengubah kelakuan di jalan raya. Karena kadang dia suka ugal-ugalan. Terlebih kalau sedang pamer kepada teman tongkrongannya. Meskipun Jerini tidak paham, apa yang didapat dari pamer kecepatan saat mengemudi. Merasa macho? Boro-boro. Bego sih iya.

Biasanya, karena Jerini yang sering mengulang-ulang peringatannya itu, akan membuat Gandhi kesal dan membentaknya, meminta untuk tidak bawel. Jerini tentu tak terima dibentak begitu saja karena merasa ucapannya tidak salah. Perang mulut pun akhirnya tak terelakkan. Baru berakhir setelah Gandhi mengatakan, "Memang selalu aku yang salah kok. Kamu paling benar. Kamu dan perkataanmu kayak hukum tak tertulis yang wajib aku ikuti!"

"Baguslah itu. Tanda kamu sadar dan tahu diri." Begitu selalu balasan Jerini yang dia ucapkan dengan ketus.

Sekarang perkataan Gandhi terbukti bahwa perkataan Jerini adalah hukum yang wajib dia ikuti. Yaitu ketika Jerini menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan pernikahan mereka. Jalur yang terpaksa dia ambil melalui bantuan pengacara yang direkomendasikan oleh Cakra.

Bertemu dengan pengacara model Ardian ini membuat persepsi Jerini tentang hukum yang menakutkan serta sosok pengacara mata duitan terkikis habis. Karena alih-alih mengintimadasi, Ardian cukup fair dengan gaya komunikasinya yang terbuka serta menyenangkan. Membuat mereka bisa mengobrol dengan nyaman.

"Nggak apa-apa kan kalau kita nggak usah terlalu formal?" tanya pria itu ramah. "Gue bakal bantu buat wujudin mau lo, sebagaimana yang dibilang sama Cakra."

"Oh," Jerini berkedip kaget. "Kalian berteman? Bukan hanya kenalan karena profesi?"

Ardian tertawa. "Gue sama dia akrab sejak kuliah. Satu almamater beda jurusan doang. Satu kamar kos pula. Kita udah berteman dekat sejak zaman susah dulu."

Jerini tersenyum, senang akan fakta itu. Di tempat yang kini terasa asing, saat dia merasa benar-benar sendiri, rasanya nyaman kalau ada kenalan yang cukup dekat dengannya meskipun hanya sebatas pekerjaan. Meskipun sebenarnya Jakarta adalah hometown baginya. Dulu.

"Oke, kita langsung aja ya. Lo jelasin apa mau lo, dan kondisi pernikahan lo bagaimana. Tolong jangan tutupi fakta penting biar gue bisa bantu lo secara optimal."

Dengan cepat keduanya pun terlibat obrolan akrab. Mungkin karena pembawaan Ardian yang santai, membuat Jerini sebagai klien bisa mengungkap dengan mudah apa saja yang dia inginkan dalam perceraian ini. Bahkan tanpa sadar dia juga banyak mengungkap fakta pernikahannya dengan Gandhi yang selama ini dia rahasiakan. Dan di akhir kalimat, Ardian mengangguk sambil tersenyum puas.

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now