Empat

4.2K 1K 94
                                    

"Apa Gandhi gangguin kamu, Je?" tanya Cakra tiba-tiba. Di sela menikmati makan siang mereka.

Tak siap ditanya demikian, membuat Jerini tertegun. "Serius Pak Cakra ingin tahu masalah pribadi saya?" tanyanya dengan dahi berkerut.

"Bukan masalah pribadi yang saya khawatirkan. Tapi jangan sampai urusan kalian mengganggu pekerjaan kali ini."

Jerini mengerjap. Ah, tentu saja! Bagi Cakra, semua hal akan penting kalau berhubungan dengan pekerjaan. Pria di hadapannya itu tetap makan dengan tenang tanpa peduli sekelilingnya. Jerini seolah bisa menebak jalan pikiran Cakra yang tak pernah jauh-jauh dari pekerjaan. Tak punya empati. Meskipun sebagai atasan Cakra memang tidak harus berempati pada bawahan.

Tiba-tiba Jerini merasa kesal. Memang apa sih yang bisa diharapkan dari laki-laki? Mereka adalah makhluk yang terkenal dengan hobinya menyakiti perempuan. Memanfaatkan dan mengadu domba, serta menciptakan neraka dalam kehidupan perempuan. Bahkan di level terendah pun mereka memiliki naluri untuk tak henti mengganggu kehidupan wanita dengan sifat dasar mereka yang serba tak peduli dan tidak peka. Namun meminta pelayanan nomor satu hanya karena merasa gender mereka dianggap lebih baik dan superior.

"Saya profesional, Pak. Pak Cakra bisa pegang kata-kata saya," jawab Jerini sambil menunduk untuk menyembunyikan kekecewaan yang entah datang dari mana, yang membuat perasaannya sedemikian sakitnya. "Saya sudah dua tahun hidup begini, dan tak satu kali pun kondisi pernikahan saya mempengaruhi profesionalitas saya."

Cakra mengangkat muka agar bisa menatap Jerini beberapa saat lebih lama. Sepertinya pria itu tak menduga Jerini akan bereaksi seperti ini. Dan untuk pertama kalinya sejak bekerja bersama Cakra, Jerini menyesali perjalanan dinas ini.

Harusnya memang aku menolak penugasan ke sini dan meminta tolong pada Bima untuk menggantikan aku. Karena urusan masa lalu ini ternyata masih membuatku gila!

Akhirnya mereka melanjutkan makan dalam diam. Bahkan kali ini Jerini menolak untuk menatap pria di hadapannya. Dan sibuk berperang dengan pikirannya sendiri.

"Kalau dipertimbangkan dari materi untuk rapat setelah ini, sepertinya jadwal kita akan mundur, Je." Kalimat Cakra memecah keheningan di antara mereka. "Sepertinya nggak mungkin kita ke Tangerang hari ini."

Jerini mengangguk tak peduli.

"Mungkin kita malah akan rapat sampai malam."

Lagi-lagi Jerini mengangguk. Dan tetap tidak mau menatap wajah Cakra.

"Je," panggil Cakra. "Kamu kenapa?"

Barulah Jerini mengangkat kepala dengan enggan. "Kenapa apanya, Pak?" tanyanya sok polos.

"Sudah saya duga. Kamu lagi kacau—"

"Pak Cakra salah," potong Jerini cepat. "Mungkin kehidupan pribadi saya memang kacau. Tapi pekerjaan saya tidak."

"Je—"

"Saya berani jamin, Pak. Jangan khawatir."

Akhirnya Cakra meletakkan sendok dan garpunya. Lalu melipat lengan di dada untuk menatap Jerini.

"Pak, saya baik-baik saja. Percayalah."

Cakra bergeming. "Apa kamu mau membicarakan tentang perceraianmu?" tanya pria itu akhirnya. "Apa di Jakarta sini kamu masih punya keluarga? Bagaimana teman-temanmu? Saya lihat kamu masih bertegur sapa dengan orang-orang di sini."

Jerini terdiam sesaat. Menarik napas panjang, baru dia menjawab pertanyaan tak terduga dari Cakra. "Memburuknya hubungan saya dengan Gandhi membuat saya dijauhi orang-orang dekat saya. Orangtua saya tinggal di Bandar Lampung dan saya jarang berbicara dengan mereka karena mereka tidak setuju saya pisah dengan Gandhi. Juga, karena saya dan Gandhi berasal dari almamater yang sama, juga satu tempat kerja, bisa dibilang sekarang saya sudah nggak punya teman. Karena semua teman kuliah saya juga teman Gandhi, dan semua teman kerja saya, juga teman Gandhi."

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now