Delapan Belas

8.4K 1.1K 146
                                    

"Cak—"Jerini mengernyit saat keraguan kembali menghampirinya. Dia menatap nanar pada Cakra yangduduk di sofa ruang tamu merangkap ruang tengah pada unit yang disewanya. "Beneran lo nggak mending pulang aja?" tanya Jerini memastikan.

"Gue cuma minta makan, Je. Kenapa lo malah pengin usir?" balas Cakra lempeng. "Bisa kan lo bikinin makanan apa gitu? Apa aja deh, please. Yang penting bisa isi perut. Apa permintaan itu terlalu rumit buat lo?"

Jerini menggeleng linglung. "Enggak sih. Cuma, apa lo nggak merasa aneh gitu, berada di sini? Maksud gue, lo sama gue kan—"

"Nggak semua hal harus dipikirin secara berlebihan, Je. Emang apa bedanya gue sama Bima buat elo? Apa lo juga bakal bertanya dengan segini mendetail andai Bima atau Tommy, atau siapa lah, datang ke sini buat minta makan sama elo?"

Ditanya seperti itu membuat Jerini mati kutu karena logikanya ditumbangkan semudah itu oleh Cakra. "Lo paham bukan itu maksud gue, Cak," Jerini memberengut kesal.

"Emang kenapa?" ucap Cakra tak peduli sambil melepas jaketnya.

Kini, Jerini harus mengakui kalau dengan penampilannya yang sekarang, jeans dan tshirt putih polos, Cakra terlihat sangat muda. Ini nggak adil banget. Woy! Lo itu udah lewat 30 tahun, Cakra! Bukan brondong 23 tahun!

"Masa iya lo anggep diri lo sendiri selevel Bima atau Tommy, sih?" Jerini masih terus mengejar Cakra dengan pertanyaan.

Mata lelah Cakra kini berbinar lebih cerah. "Ini lo lagi mengakui kalau gue lebih istimewa dibanding Bima atau Tommy di circle lo, Je?" tanya Cakra .

Ih! Sialan. "Nggak gitu juga kali!" Jerini membantah kesal. "Maksud gue—"

"Nganggep gue lebih istimewa juga oke kok, Je. Nggak usah malu atau gengsi gitu," lanjut Cakra yang terlihat geli oleh reaksi Jerini.

"Ih, Cakra! Gue bukannya—" Jerini merasa wajahnya merona memalukan. Membuatnya benar-benar kesal.

"Harusnya gue emang istimewa buat elo, Je," kata Cakra tak terduga.

"Cak, lo tuh jangan ngadi-ngadi, ya!" gerutu Jerini.

"Ngadi-ngadi apaan sih? Kan kenyataan?" Cakra terlihat geli. "Karena nyatanya gue yang lebih banyak bantuin elo. Bukan dua cecunguk Bima sama Tommy itu," Cakra mencibir mengejeknya. "Emang lo pikir kenapa?"

Ish! "Lo beneran deh," gerutu Jerini kehabisan kata. "Iya, deh, iya. Lo emang istimewa! Puas?"

Cakra menyunggingkan senyum culas. Sialan bener orang satu ini, batin Jerini.

"Lo kalau butuh pujian, nggak usah mancing-mancing, Cak! Emang cuma elo yang istimewa karena udah bantuin gue, mulai nyari pengacara buat perceraian gue, sampai dapetin apartemen ini," omel Jerini kesal. "Sekarang, kalau gue udah menyatakan dengan segamblang ini betapa istimewanya elo buat gue, terus lo mau apa?" tantang Jerini.

"Mau minta makan. Gue udah sebutin dari tadi," kata Cakra lempeng.

Jerini menatap Cakra dengan tajam. "Lo mau begoin siapa sih, Cak? Lo paham banget maksud gue bukan itu. Dan gue enggak sedang bercanda," katanya tajam.

Cakra menegakkan tubuhnya dan duduk dengan sikap resmi di sofa sambil membalas tatapan Jerini.

"Lo tahu siapa gue dan apa status gue. Dan gue yakin kita berdua sama-sama paham kalau hubungan di antara laki-laki dan perempuan itu hanya ada dua jenis. Yaitu hubungan saudara dan hubungan asmara. Lo dan gue tidak berada dalam dua kondisi itu, Cak. Dan jangan ceramahin gue soal pertemanan antara laki dan perempuan karena gue nggak bakal percaya sama bullshit kayak gitu."

Cinta yang SederhanaWhere stories live. Discover now