Part 3

2.2K 263 3
                                    

Brayder pulang bersama Shiren dan Agatha saat malam sudah tiba. Ivory yang sudah menunggu dengan cemas di depan teras segera membantu Agatha turun dari atas kuda dan menuntunnya masuk dibantu Shiren. Agatha kembali dengan pergelangan tangan yang sudah dililit kain. Mereka baru saja pulang dari rumah pengobatan yang berada di pusat kota Kerajaan Victory, yang jaraknya sangat jauh dari desa.

Brayder bertugas membuka pintu kamar Agatha, mempersilahkan istrinya dan Shiren membaringkan gadis malang itu untuk berbaring di atas ranjang.

"Ivory, panggil Clarencia kemari." Brayder memberi titah pada istrinya. Tanpa membutuhkan banyak waktu, Ivory segera keluar dari kamar ke kamar yang berhadapan dengan kamar Agatha. Ia masuk dan melihat putrinya sedang menghitung koin peraknya.

"Seratus lima puluh satu, seratus lima puluh dua, seratus lima puluh tiga, seratus lima puluh em-"

"Clarencia."

Clarencia yang tengkurap di atas lantai sedang mengitung uangnya segera berhenti. Ia berbalik dan duduk dengan benar.
"Ada apa, Ibu?" tanyanya.

"Ayah memanggilmu. Ayo ikut Ibu." titah Ivory. Dengan malas Clarencia meninggalkan koin-koin yang ia susun menggunung itu. Sebelum ia menutup pintu kamar, ia sebentar melihat uangnya. Dengan berat hati ia meninggalkan koin-koin itu dan mengikuti ibunya yang masuk ke dalam kamar Agatha.

Clarencia disuguhkan dengan wajah kesal Agatha dan wajah murka Shiren. Mungkin jika saja Brayder tidak ada di sana, wanita itu akan menghajarnya. Shiren menahan diri agar tidak berbuat nekad. Walau bagaimanapun, Clarencia adalah anak Brayder. Tidak mungkin ia menghajar anak itu di depan ayahnya yang merupakan pemilik rumah yang ia dan anaknya tinggali.

"Ada apa Ayah?" tanya Clarencia.

Mendengar pertanyaan tanpa rasa bersalah itu, wajah Shiren semakin jelek. Menurutnya Clarencia adalah anak menjengkelkan.
"Lihat, kau bahkan masih bisa bertanya setelah mematahkan tulang Agatha?" marah Shiren.

Clarencia hanya memberi lirikan singkat lalu kembali menatap Brayder. Sikap gadis itu semakin membuat bara api di hati Shiren bergejolak. Ia ingin membunuh anak itu!

"Minta maaf pada Agatha dan katakan jika kamu benar-benar menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi." Brayder berkata dengan tegas. Menurutnya, putrinya sudah keterlaluan. Jika ingin membalas, tidak perlu sampai mematahkan tangan orang lain, apalagi itu adalah sepupunya sendiri. Tapi sepertinya Clarencia tidak akan setuju dengan perintah ayahnya.

"Aku tidak mau minta maaf karena aku sama sekali tidak menyesal, Ayah. Aku telah melakukan hal yang benar. Ini sudah kesekian kalinya dia mencuri uang simpananku. Jika tidak melakukan hal ini, pencuri tidak akan takut dan semakin menjadi-jadi." Clarencia membantah tak kalah tegas. Matanya bersinar penuh ketidaksukaan. Ia tidak suka ditegur. Sikap keras kepalanya selalu membuatnya merasa benar.

Shiren semakin masam.
"Lihat, lihat putri kalian ini. Setelah dia mematahkan tangan putriku, jangankan minta maaf, ia malahan membuat hati Agatha semakin sedih. Apa yang bisa kita harapkan dari anak ini? Tidak terdidik!" Shiren meluapkan emosinya. Ia terang-terangan menatap tak senang pada Clarencia.

Ivory mengelus punggung putrinya.
"Minta maaflah, turuti kata Ayahmu dan semua akan selesai." ujarnya wanita itu.

"Tidak akan Ibu. Aku sudah melakukan hal benar. Aku sudah muak, aku bahkan mati-matian dan tidak menikmati hasil usahaku sendiri. Aku menyimpannya dengan segenap hati dan dia tanpa seiizinku mencurinya! Bahkan uang saku pemberian Ayah setiap bulannya aku simpan di sana! Dan semuanya habis dia gunakan untuk membeli barang-barang pribadinya dan mentraktir makan teman-temannya di restoran mahal! Aku hanya menegakkan keadilan. Jika aku tidak melakukan apa-apa, kapan dia bisa berhenti mencuri!" Clarencia mengeluarkan kekesalannya dan Agatha tak bisa membela diri. Gadis itu menatap ibunya meminta pembelaan. Sekarang ia sangat malu pada Brayder dan Ivory.

Hai, Duke! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang