Part 7

1.8K 226 1
                                    

Ketukan sepatu kulit terdengar di lorong yang sepasang kaki itu lewati. Mata emerald itu menatap lurus ke depan, menunjukkan kharismanya. Di belakangnya senantiasa diikuti oleh sosok lain, yang merupakan tangan kanan sekaligus orang terpercaya, Asher Halmut. Mereka memasuki sebuah ruangan luas mirip ruang persidangan. Orang-orang yang berada di ruangan tersebut sontak menoleh padanya.

"Hormat kepada Duke Atley, semoga Dewa memberkati." ucap serentak beberapa orang yang duduk di kursi yang berada di tengah-tengah ruangan. Sosok Duke mengangguk kaku dan mulai mengambil tempat di samping Henley, sang ayah yang sudah lebih dulu berada di sana. Kenrich duduk dengan tegap di tempat yang sudah disediakan, yang menghadap langsung orang-orang yang berada di tengah ruangan.

Asher dengan patuh berdiri di samping Tuannya.

"Karena Duke telah datang, silahkan katakan tujuannya." Henley berkata dengan ringan.

Brayder menarik napas dengan teratur. Lalu ia menatap ke arah istrinya Ivory, dan juga Cedric serta Ian yang berada di sana. Pria itu akhrinya menatap penuh pada sosok penguasa tempat yang sedang mereka injak.
"Tuan Henley dan Duke Atley, kedatangan kami hanyalah untuk memohon belas kasihan. Putri saya, Clarencia telah melakukan hal fatal yang tidak bisa dimaafkan. Dia telah berani melukai Tuan Duke dengan kejam. Saya juga masih kurang tahu, apakah putri saya telah melakukan kesalahan lain. Dan walaupun begitu, putri saya masih lah kecil, tingkahnya masih belum dewasa. Clarencia melakukan ini karena kesalahpahaman semata." Brayder menjelaskan dengan pelan.

Henley mengangguk-angguk sambil mengetuk-ngetuk dagunya.
"Ya itu memang murni kesalahpahaman setelah diselidiki. Tapi tetap saja, putri Anda telah merugikan putra saya. Semuanya juga tidak luput dari kesalahan orang tua. Putri Anda adalah seorang gadis, tidak baik ia keluyuran di malam hari. Apa seorang perempuan bekerja di malam hari? Jika itu didengar oleh orang-orang sekerajaan, mereka akan menganggap putri Anda tidaklah baik." Henley menjawab dengan santai.

Ian mengangkat kepalanya dan mulai menyeruakan suara.
"Ini kesalahan saya Tuan, Clarencia keluar dari rumah secara diam-diam tanpa sepengetahuan Paman Brayder dan Bibi Ivory. Saya orang pertama yang menyinggung tentang penjagaan kebun anggur." ucap lelaki itu dengan serius.

"Maafkan sikap putra saya, Tuan." Cendic ikut berseru di tempatnya.

"Tuan, jika tidak bisa memafkan kesalahan putri saya. Saya memohon supaya keputusan yang akan diterima putri saya, tidak sampai pada nyawa. Tuan, mohon belas kasihan. Putri saya masih kecil bahkan belum mengikuti upacara kedewasaan. Mohon belas kasihannya." Ivory menyuarakan isi hatinya dengan penuh harapan. Wanita itu tak sanggup jika ia kehilangan putri satu-satunya.

Mendengar itu, Henley lagi-lagi mengangguk.
"Saya mengerti dan paham dengan keadaan. Tapi walaupun begitu, saya tidak berhak mengampuni atau memutuskan. Duke Atley lah yang punya kuasa penuh atas itu." ucap pria itu dengan prihatin. Kemudian ia berpindah menatap Kenrich yang masih santai di tempat duduknya.

"Jadi bagaimana, Duke?" ucapnya dengan formal.

"Saya tidak suka berbelas kasih." Kenrich mengeluarkan kalimat pertamanya yang mampu membuat orang-orang gelisah.

"Tuan Duke." suara Brayder tercekat bahkan sebelum ia berhasil menyelesaikan semua kalimatnya. Jantung pria itu berdetak kencang dengan aliran darah yang bergerak cepat. Pria itu memegang dadanya. Wajahnya menjadi pucat dengan keringat dingin yang bercucuran. Ivory segera memegang tubuh suaminya dengan khawatir.

"Tenang lah, jangan panik. Ingat penyakitmu." Ivory membisikan kata-kata yang sedikit mampu membuat pria itu berangsur-angsur tenang.

"Tuan Duke, apakah tidak ada pilihan lain selain hukuman mati?" tanya Ian dengan hati-hati. Lelaki itu menekan segala ketakutannya saat ditatap datar oleh manik emerald yang tenang namun berbahaya dalam satu waktu.

Hai, Duke! Where stories live. Discover now