CHAPTER 8 [M]

278 16 16
                                    

Jina tidak menduga bila keikutsertaannya justru untuk melakukan tindak demikian yang mendadak Taehyung Rutledge perintahkan. Aksi gila tersebut seperti tuntutan dan keharusan. Bahkan hanya dengan membantu menutupi penyebab kematian seseorang, ia telah cukup besar mengemban dosa selama ini.

Tangan Jina gemetar, ragu-ragu menerima sodoran revolver dari Taehyung yang telah lancang mengambil langsung dari dalam saku blazernya. Pria itu tidak sama sekali berbelas kasih; meski bukan untuk orang yang akan menjadi sasaran, setidaknya untuk Jina yang tak akan sanggup membunuh orang. Tatapan keengganan tidak meruntuhkan perintah tersebut. Taehyung meraih paksa satu tangan Jina untuk mengambil revolver, mengajarkan cara memegang dengan benar.

“Kau bisa, Sayang. Lakukan.”

Revolver yang diacungkan tidak bisa tenang. Napasnya memburu dengan detak-detak cepat di dalam dada. Kim Jina belum gila untuk menjadi segila Rutledge. Mata telah berembun, tetapi dorongan untuk melakukan tindakan keji itu tiada ampunan. Alih-alih kuat menatap mangsa seperti predator, ia menunduk hingga berulang kali bawah dagu disentuh untuk kembali tegapkan pandang.

Akan tetapi, kesabaran Taehyung Rutledge tidak sebanyak seperti yang Jina harap. Membunuh bukan hanya sekadar kegiatan gampang, butuh mental lepas untuk meruntuhkan keraguan. Tiada gertakan sementara Jina berperang batin. Di antara dorongan-dorongan untuk melakukannya, Taehyung lantas menjejak menemui subjek mereka yang masih meringkuk merintih-rintih.

Pria itu mengangkat tubuh berceceran darah di sana untuk didudukkan. Buat Jina kian resah sebab pandang yang menyorot tak lepas, menekan, memberi dorongan. “Ayo, Sayang. Aku akan menjaganya untukmu, supaya dia tidak bisa mengelak.” Demi Tuhan, kegilaan ini jauh lebih membuatnya frustrasi ketimbang terbangun sebagai orang lain. Kim Jina belum menjadi sinting untuk melakukan kesintingan Taehyung Rutledge.

Dada orang itu dibentangkan menghadap Jina seperti papan target. Dengan Taehyung menahan di belakang, tersenyum sedikit-sedikit tertawa. Pria tersebut jelas abai pada kondisi mentalnya, pada ketakutan Jina, kendati bagi Taehyung sendiri tidak pantas seseorang sebagai predator justru merasa takut.

Ia sendiri spontan amat terkejut, begitu beban tekanan dalam diri meluncur beserta peluru telah mengenai subjek. Hanya semudah itu menekan pelatuk. Namun tidak gampang menembuskan pada titik yang ditargetkan; dada. Ia hanya semakin menambah penderitaan orang itu karena salah sasaran, bukan jantung yang telah disodorkan itu tetapi bagian paha kanan telah mengucurkan darah dari lubang yang dibuat peluru.

“Oh, Rutledge ....” Jina takut semakin takut. Namun reaksi yang timbul dari Taehyung justru membuatnya merasa kian tidak baik. Pria itu gila, Jina mengakui. Dan ia telah sama gilanya setelah menekan pelatuk. Ia membantu kepuasan Taehyung Rutledge yang menyiksa orang lemah di sana.

“Bagus sekali, Sayang. Sekarang akan kubereskan untukmu.” Seringai unjuk sebagai tanda yang tidak bagus.

Seseorang datang dan menyodorkan martil. Sebelah ujungnya lancip dipukulkan pada dada orang itu sehingga selayak mencabik, gerakannya berulang, beruntun membabi-buta seperti kesetanan. Darah terciprat ke jas dengan warna serupa, juga ke wajah membentuk titik-titik pada ekspresi gemirang yang terpancar. Cabikan terhenti ketika tidak lagi timbulkan erangan pedih.

Taehyung bangkit, dengan postur menjulang menghampiri Jina. Martil dilempar sembarangan. Begitu sampai diraihnya tangan Jina yang bebas dari revolver, untuk mengusap bagian wajah, berbagi kekotoran di sana.

Jina terlalu tertegun untuk menyangkal pemandangan terbejat itu, sehingga menurut dalam tuntunan Taehyung adalah pilihan dari setengah sadarnya. Minuman datang disodorkan secara perhatian. Pria tersebut membuatnya duduk di kursi besi yang berkarat, sebelum kemudian berjongkok di depan pangkuan.

𝐓𝐚𝐫𝐠𝐞𝐭Onde histórias criam vida. Descubra agora