CHAPTER 11 [M]

345 22 11
                                    

Tuan yang terhormat, izinkan aku mengenalmu sebagai kawan,
Kendati diriku terlambat bertualang atas namamu,
Luka-luka pertempuranku itu tetap tinggal,
Kau akan mengenalku sebagai imbal bantuanmu.

Edmund Spenser
The Faerie Queene

(Dikutip dari buku Troubled Blood milik Robert Galbraith)

Rutledge menganggap Kim Jina selayak malaikat―kendati ia sendiri tidak memercayai Tuhan―mengisi kamar di rumah bawah tanahnya dengan semacam esensi yang seterang dan sejernih sinar matahari. Rambut yang dicat sewarna perak tampak seperti mahkota terbias cahaya lampu tidur. Tubuh tertutup selimut menyembul mungil; baru beberapa waktu lalu ia telah merengkuhnya secara hangat, lama dan nyaman.

Dan satu lagi, mata hitam kecokelatan yang sebelumnya tertutup, lebih indah dari pernak-pernik di dunia. Apakah Taehyung Rutledge telah benar-benar sinting? Senyum merekah seperti orang bodoh.

“Selamat pagi,” ucapnya ketika yang dipandangi telah menunjukkan diri―mata Jina.

Perempuan tersebut sempat mencari sumber suara. Di sisi sebelah merupakan tempat awal Rutledge sebelum kini eksistensinya menjauh. Duduk di sofa biru tua di balik meja kaca yang terdapat kelopak bunga mawar menyembul dari vas dan diletakan di tengah-tengah. Ada cangkir di tangannya dan dekat dengan bibir. Seluruh aspek yang pria itu miliki mengancam, dimulai dari sorot mata di atas cangkir tajam seperti belati dan struktur wajah yang menonjol; hidungnya tinggi akan menyentuh cangkir bila-bila ia menunduk. Rambutnya berantakan berikut juga jubah tidur yang baru Jina lihat, Rutledge tidak memakainya ketika mereka tidur. Dan kedua kaki panjangnya memenuhi sepanjang sofa hingga ujung.

“Ini masih pagi?”

“Hampir sore, Sayang.”

Rutledge menurunkan kedua kaki ke lantai. Jina mendudukkan tubuh dengan bersandar pada kepala ranjang. Pria itu menyesap minuman dari dalam cangkir, sebelum lantas beranjak. Kakinya telanjang dikerahkan untuk mendekat, sisi di mana Jina tempati. Tali jubah tidak terpasang sehingga bayang-bayang otot perut di sana mengintip sesekali saat kainnya tersibak-sibak. Warnanya merah, kain yang lalu Jina sentuh. Taehyung bertindak cepat mengungkung dalam posisi duduk. Kopi, adalah cairan dalam cangkir di sana. Aromanya tertinggal di bibir yang mendekat, dan tidak perlukan izin untuk melakukan aksi. Lidah Taehyung langsung membelai dan sebelah tangan berada di tengkuk membantu memperdalam. Erangan minim tetapi jelas dan tegas. Dan tangan yang lain menggerayangi ke arah pinggul. Keahlian gerakan bibir memberi sensasi melumerkan. Ciuman semakin sensual. Juga disela-selanya kemudian, Jina mendengar perizinan dari pria yang tengah mendominasinya. Ia masih ingat pada kegiatan mereka menjelang tidur, terutama ia telah melonggarkan peluang kepada Rutledge. Jina menyadari pengaruh atas perkataan Choi Jimin, dan perlakuan Taehyung Rutledge begitu baik. Bila ini adalah rayuan jebakan maka Jina ingin berpura-pura bodoh. Sekali saja, dan mungkin tidak akan terulang lagi. Ia menginginkan Taehyung Rutledge, begitu pun pria tersebut tidak menampiknya. Tidak ada yang menahan, tidak ada, termasuk wajah Jane Fletcher sebagai bayang-bayang terburuk. Namun mata Taehyung hanya berfokus pada tubuh dan matanya, yang menunjukkan sama bergairahnya.

Taehyung membelai rambut dan menciumnya seperti kerapuhan. Maniknya berjelajah begitu pula tangannya. Jina dibawa untuk setengah berdiri. Dan tanpa gugup kait celananya dilepaskan. Ia direbahkan untuk lalu celana ketat yang membebat kaki disingkirkan. Sentuhan Taehyung di bawah membuat kepala kian berdenyut-denyut, bukan karena tidak menyukai atau membuat sakit. Namun merasakan desakan sampai membuatnya pening. Taehyung berhenti saat mencapai paha dalam, ia beralih ke bagian tubuh atas di mana Jina masih rapat. Dan beri gigitan-gigitan sensual sembari melepas satu persatu kait kemeja, payudara Jina yang pernah ia rasakan menyembul bersama bra hitam membuatnya tampak kontras.

𝐓𝐚𝐫𝐠𝐞𝐭Where stories live. Discover now