CHAPTER 14

171 15 17
                                    

Ujian yang buruk.

Dibutuhkan beberapa detik untuk kembali sadar, Kim Jina seolah dihadapkan dengan api itu lagi. Bom yang meledakkan kali ini memang tidak membakar hangus wajahnya melainkan masuk melewati rongga dada hingga menggosongkan hati. Ia ingin memopok diri dengan beribu-ribu kekuatan, dan nyatanya Kim Jungkook telah begitu menjebak, menjerumuskan Jina seolah beginilah bukti konkret dari pengabdian. Ia telah begitu kalah.

Tangannya bagai terbelenggu. Jungkook memberi permainan yang fantastis, ia harus mengakui cara pria tersebut dalam menabur dendam benar-benar luar biasa. Kini Jina bukan lagi seratus persen membenci Kim Jungkook tetapi seluruh hidupnya akan melakukannya. Memang bukan keputusan salah ia tetap berada di sisi Rutledge, melainkan pilihan yang patut diagungkan sendiri. Jelas menguntungkan sekaligus membuat kerugian besar, setidaknya ada yang bisa ia peroleh.

“Dari ekspresimu, kata hanya mengenal saja terasa belum mewakili,” kata Rutledge, “Jim.” Yang dipanggil langsung mempersiapkan diri.

Ruangan tidak memiliki banyak isi dan berukuran sempit. Jimin telah membawa salah satu alat jagalnya, mungkin diambil dari tempat singgah sebelum. Pedang yang tajam, akan mudah menebas.

“Kalaupun kepalanya harus terpisah dari tubuh, itu hanya akan dilakukan olehku.” Kim Jina ingin tetap kukuh, hatinya ingin terlapisi baja untuk menelan bom yang menyerang, sedikitnya ia memiliki pertahanan. Ia butuh perlindungan, bukan secara harfiah. Mentalitas akan dipertaruhkan lebih ketimbang sebelum.

Untuk menyalurkan amarah, terkadang seseorang dipaksa merelakan hal dalam dirinya―yang tidak biasa―keluar.

Tiada yang tidak menyadari dirinya terguncang, ketika menghampiri Jimin, untuk merebut pedang itu. Jina dihadapkan pada kerusakan pribadinya segera. Tangan menggenggam pedang terus gemetar. Aliran darahnya berdesir seperti akan meledak, dan ia bisa saja mati jika benar-benar melakukannya. Tindakan buruk dan tindakan mesti ia paksa lakukan. Bukan membunuh lagi, mayat yang sebentar lagi membusuk itu, tergeletak siap seolah papan alas tidurnya ialah alas pemotongan daging, dan ia harus penggal kepalanya. Secara harfiah ia tidak membunuhnya, benar begitu. Ia memberanikan diri secara besar-besaran. Yang ternyata itu sangat sulit. Saking tremornya pedang justru berdentang jatuh ke lantai. Cukup mengejutkan diri sendiri. Tergugup.

Taehyung Rutledge menghampiri, dan Jimin segera mengambil alih pedang lagi.

“Jangan melakukannya, jangan memaksakan ....” Rutledge merengkuh secara perhatian. Kali ini terasa kontras. Ketika pria tersebut memaksa untuknya menggunakan revolver pertama kali, itu terlalu kejam. Dan sekarang Jina begitu ingin bisa. Ia ingin memakai pedang itu, hanya akan sekali tebas, Jina yakin itu mudah. Leher di sana telah dipersiapkan dan wajahnya menantang meski terpejam mati, barangkali alasan itulah yang menyulitkan. Ada luka tusuk di rusuknya meskipun darah telah mengering. Tangan yang dahulu ketika hidup senang memberikan perhatian, kini terkulai tanpa gerik.

Jina menyerukan wajah lebih dalam, Taehyung terasa hangat dari dingin yang membekukan darahnya. Ia menahan supaya Jina tidak melihat, sementara perintahnya mengudara, “Jim.”

Selama beberapa detik itu kesadarannya mengambang. Benar pikirnya, dengan cukup sekali tebas. Sebab posisi tidak bisa menjauh membuat darah turut mengotori mereka, kendati Jimin si paling mendapat lebih, dan Rutledge memutar badan sehingga tidak banyak yang berhasil Jina dapat, hanya di tangan. Rasanya kian membuat aliran darah sendiri beku. Rutledge cepat menuntunnya keluar tanpa melepaskan dekapan. Sementara Jimin tertinggal untuk membereskannya.

Jina terjebak turbulensi sendiri, tangannya yang berdarah dipandangi seolah itu luka besar dan parah. Pertama kali Taehyung Rutledge melihat air mata mengalir di pipi perempuan tersebut. Kim Jina menangis dalam bungkam tampak lebih ngilu. Bahkan di saat Rutledge merenggut identitas perempuan itu tiada tangis yang bisa ditilik. Ia lebih kuat dari yang diperkirakan. Rutledge membawanya ke kamar mandi. Usai dengan urusan sendiri melepas pakaian atasan, masih dilihatnya Jina hanya diam. Taehyung menuntun lagi ke arah wastafel, menempatkan kedua tangan Jina di bawa kucuran air keran. Membilas kotor di sana hingga bersih. Kemudian tanpa banyak bertanya ia membawa Jina kembali.

𝐓𝐚𝐫𝐠𝐞𝐭Where stories live. Discover now