CHAPTER 9

184 14 11
                                    

Kapal kembali mengarungi lautan. Kendati Rutledge memberi perintah untuk langsung kembali, persiapan bahkan menghabiskan waktu pagi, siang dan sore mereka. Selama menunggu segala macamnya dipersiapkan tadi, Jina diberi peristirahatan yang terbilang sama sekali tidak layak. Tidak ada yang manusiawi, dalam hal apa pun, baik tindakan mereka semua atau tempat itu. Jina menolak sajian yang dihidangkan, hanya meminum sedikit ketika Taehyung memberinya setelah peristiwa penembakan itu.

Langit telah berubah gelap dan bulan kali ini tertutup awan. Jina menolak untuk bergabung ke dalam kabin kecil kapal. Baik Taehyung maupun Jimin tidak berkomentar apa-apa. Memang sudah seharusnya sikap mereka tidak memaksakan. Lagi pula apa yang bisa Jina lakukan? Menyelamatkan anak-anak dari kapal lain yang mengikuti? Ia bukan si kapten Jack Sparrow sang penguasa lautan, minimal di serinya; Pirates of the Caribbean. Kim Jina tidak akan mengorbankan nyawa sendiri, kendati hati nuraninya bagai disentak-sentak. Di antara dua puluh anak yang mereka bawa di kapal itu, ada beberapa masih begitu kecil, sekitar lima atau enam tahun umurnya. Bekas tangis atau raut ketabahan yang terpaksa dipasang telah berhasil menggigiti hati Jina hingga sendiri merasa kekejaman Rutledge begitu berlebihan. Mereka diikat berurutan, duduk di geladak dan dipaksa diam. Kendati Jina hanya mengamati dari jarak antar kapal, ia pun bisa secara jelas melihat wajah-wajah ketakutan di tengah minimnya pencahayaan. Berharap entah kepada apa saja.

Derum mesin nyatanya tidak lebih keras dari jerit batin anak-anak itu, dan Jina ingin sekali bisa abai; sama seperti semua orang di kapal. Well, salah sendiri memilih buritan untuk dikunjungi.

“Kau menikmati perjalanannya?” Choi Jimin menghentikan kaki persis di sisi kanan. Menikmati. Seperti pemilihan kata yang tepat. Jina menoleh tanpa temui langsung jangkau mata Jimin yang hitam di antara kelopaknya yang sipit. Pria itu memandang lurus, kepada kapal di hadapan mereka.

“Maksudmu menikmati pertunjukan pembunuhan dan segala macamnya?” Jimin terkekeh, tetapi tidak sedikit saja memutar leher. Humornya terlalu sepadan dengan Rutledge, jauh sekali dari Jina. Ia mendengkus tidak senang, baru kemudian Jimin beralih hadap.

“Maaf ya, Rutledge memang agak kasar,” katanya.

Rambut Jimin yang legam tersapu deras oleh angin dan bibirnya masih mengukir senyuman. Pria itu berdeham sebelum menyambung lagi kalimatnya. “Tetapi jangan salah, Rutledge hanya sedikit merasa kesal. Kau tahu kan, dia mencintai uangnya. Meski justru bagiku kau seperti pembawa keberuntungan.”

“Aku tidak mengerti orang sepertimu bisa memercayai hal begitu.”

“Kau hanya belum mengerti keseluruhan. Biasanya, Rutledge akan membuat kekacauan, sedikit. Minimal tidak akan gampang menerima kenyataan pahit.”

Kening Jina mengerut, sebagai respons atas kebingungan pada topik percakapan yang rancu. Ia melongok ke tempat di mana Rutledge masih menikmati minumannya. Jina yakin sekali pria itu tidak ingin kejadian sewaktu keberangkatan terulang. Basah oleh air laut, merepotkan. “Dia tertarik padamu.” Perkataan Jimin lalu memecah kaca perhatiannya pada sang bahan obrolan. Taehyung Rutledge sama sekali tidak terusik.

“Aku tahu ...,” ungkap Jina. “Tetapi lebih besar kemungkinan Rutledge melihatku sebagai Jane.” Krisisnya kembali.

“Jadi pikirmu Rutledge menginginkan Jane Fletcher?”

Bukan jawaban tepat ataupun sekadar anggukan, Jina melengos dan beralih untuk mencoba abai, sudah dapat Jimin tangkap maksudnya.

“Itu memang benar.” Sebagai balasan spontan Jina kembali menatap Jimin. Dan sialnya pria itu memang senang menggoda. Raut menyebalkan sekali untuk dilihat. “Tenang, hanya dalam konteks lain. Aku tidak akan menceritakan detailnya, tetapi kebencian Taehyung terhadap Jane sama besarnya sepertiku. Jangan mengira Taehyung menempatkan Jane sebagai sandera untuk bisa dipermainkan di atas ranjang, seks, Taehyung lebih pandai mengendalikannya ketimbang amarah dalam diri.”

𝐓𝐚𝐫𝐠𝐞𝐭Where stories live. Discover now