CHAPTER 15

96 12 5
                                    


Kau ingin aku minta maaf.

Sedari awal Jina sudah menegaskan bahwasanya diri untuk jangan mengharap Taehyung Rutledge bisa sebaik itu. Maaf sendiri mungkin telah selayak pantangan. Yang akan menurunkan martabat, melenyapkan otoritas. Kim Jina masih beruntung tidak mati di tempat pengeboman, dan wajahnya yang rusak dibetulkan kendati menjadi lain.

Ahn Taehyung Rutledge benar-benar sang ahli kuasa sejati. Ketika Jina mengatakan bila ia bisa saja jatuh cinta kepadanya, tidak sama sekali terselipi kebohongan. Jatuh cinta kadang kala segila itu. Tetapi sebagai lelaki Taehyung Rutledge terlalu menarik. Hadiah-hadiah yang sudah pasti menuntut balasan, ia tidak keberatan. Itu mungkin trik. Akan tetapi, seorang Rutledge lebih bisa mendapatkan apa pun, pria tersebut bisa memaksa tanpa perlu repot memberi timbal balik.

“Kau membuat bidikan yang lumayan.” Merasakan kehadiran Choi Jimin tanpa disangka, Jina membuka sebelah penutup telinga. Tatapannya tidak beralih dari papan target lurus di depan dan tangan tidak melepas dari menodongkan pistol. Ia sudah berjam-jam di sini, berusaha mengolah diri setelah obrolannya bersama Rutledge yang berakhir mengambang. Ia tidak perlu repot mencari tempat pelatihan yang sempat satu kali disinggung Rutledge, masih berada di satu gedung mereka tinggal. “Bukan yang pertama kali?”

“Pertamaku ketika Rutledge meminta untuk dibidikkan jantung seseorang.” Tanpa disangka respons Jina begitu cepat.

“Tepat mengenai sasaran?” Sebenarnya Jimin berbohong. Ia tahu benar soal itu.

Bersiap Jina memasang kembali sebelah penutup telinganya. Ia berfokus sembari tetap menjawab, “Tidak. Di paha. Dan Rutledge membunuhnya seperti penghancur.” Kiasan penghancur, Jimin menyukai dari cara Jina menuturkannya.

Satu letusan memekik dan peluru terlalu melenceng dari papan target. Tegang di tubuh Jina mengendur bersama turunnya kedua lengan. Ia sudah malas untuk membangun semangat diri.

“Ruangan ini dulu dibangun untuk Anne. Bidikannya selalu menjadi yang terbaik di antara kami.”

Sejenak bergeming, dan beberapa detik kemudian Jina tidak ingin mengisi revolvernya lagi. Ia berpaling dari pusat tembakan kepada Jimin. Pria tersebut jauh dari kontur yang biasanya. Lebih membuat Jina berpikir, apa sekiranya alasan Choi Jimin repot-repot menemuinya?

“Kau pasti merindukannya.”

“Kerinduanlah yang membuatku terus menyimpan dendam.”

“Aku sudah bekerja lumayan untuk mengenal Jane Fletcher dengan baik, tidak sekali pun kudengar persoalan ini, menyangkut kalian bahkan pada kematian Anne.”

“Perlu kuajak kau ke tempat pelatihan yang lebih baik?” Jina tidak lekas menjawabnya, Jimin terlalu cepat mengalihkan pembicaraan. Dan mengenai itu ia tahu bila Jimin merasa tidak perlu menjelaskannya. Hak mereka untuk menyimpan beberapa hal dari Kim Jina. Baik Rutledge atau Choi Jimin sama-sama tidak ingin menguak lebih banyak. Sementara ia tidak perlu merasa tersisih. Satu hal, ia menangkap maksud Jimin, datang untuk mengajaknya pergi.

“Rutledge tidak akan mengizinkan,” jawab Jina. Napasnya terembus kentara, lelah atau semacamnya. Ia mengatakannya terlalu yakin, padahal alasan yang mendasari hanya ia tidak ingin bertatap muka dengan Rutledge. Setidaknya beberapa saat sekarang. “Akan lebih baik aku di sini saja.”

Sementara Jina kembali mengisi revolvernya, lalu membuat beberapa kali letusan, yang lagi-lagi tiada mengenai sasaran. Buruk, semenjak tadi pun begitu. Jimin hanya berbasa-basi bila mengatakan bidikannya lumayan. Namun ia tidak terlalu peduli. Rasa penasaran hanya sebab Jimin masih bergeming, Jina selalu merasa bodoh bila diamati. Kadang-kadang pria itu membuatnya takut. Haruskah Jina mengecat rambutnya lagi dengan warna lain? Tidak akan. Ia bahkan belum sekali pun melihat rupa Anne Rutledge untuk menilai dari segi mana saja ia bisa dikatakan mirip.

𝐓𝐚𝐫𝐠𝐞𝐭Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang