Mempelai dari lubuk Layang

80.8K 3.4K 107
                                    

Butiran dingin itu menikam kulit.

Aku sudah terbiasa dengan rinai gerimis maupun rintik romantis yang jatuh pada musim-musim tak kuharap di Jakarta. Tapi aku tidak pernah tahu hujan bisa sedemikian menyakitkan seperti ini.

Berpacu bersama waktu kubelah belantara yang dilingkupi aroma segar dedaun yang seakan diekstrak bersama kemurnian air yang tumpah ruah dari langit.

Di bawah riuh gemuruh hujan, dalam jantung rimba yang hijau sekalipun aku tidak pernah merasa takut. Gelap hutan adalah rumah yang lama kutinggal untuk mengejar semu cahaya dalam gemerlap hiruk pikuk kota. Pada akhirnya aku tetap harus kembali untuk tunaikan janji pada dia yang kupinjam kekuatannya untuk menghindar dari dosa yang tidak ingin aku pilih. Meski pada akhirnya aku tak terhindar jua dari dosa lain yang sengaja aku sepakati.

Kecipak suara langkah yang menapak pada tanah yang tergenang hujan menghentikan lamunan, kabut putih yang menari di atas Lubuk Layang Agung seakan penanda sesuatu telah menunggu untuk menyambutku hingga dengan tak sabar aku nyaris berlari menyongsong pada permukaan air sejernih cermin itu.

Di tepian lubuk kusibak penutup kepala jaket yang kukenakan. Kubiarkan tikaman hujan merajam kulit kepala dan membasah seluruh wajah, sementara mataku meliar mencari-cari bukti eksistensinya di dunia ini.

Tapi bahkan dibawah suara hujan lubuk itu terasa kosong. Tanganku terkepal gemetar, tidak mungkin mimpi itu sekarang jadi kenyataan.

"Sang Agung," kupanggil namanya dalam lirih suci yang dikalahkan deru angin peniup hujan badai.

"Sang Agung!" sekali lagi kuserukan nama, dan sekali lagi pula hembusan angin menjawab panggilanku.

Aku berdecak, sepertinya tak ada cara selain membuka mata batinku untuk mengetahui keberadaannya. Dalam sekejab kuhatur posisi tangan bertindihan di depan dada, memutar hingga membentuk posisi merapat membentuk sembah. Kupejamkan mata dan merapalkan panggilang gaib yang kutahu pasti akan di dengar olehnya meski Sang Agung sendiri sedang berada di langit lapis ke tiga sekalipun.

Tapi panggilanku kali ini bersahut hampa. Energi miliknya yang kuat seakan tidak pernah ada mengitari kolam yang dikeramatkan ini.

Ku buka mata dalam keputusasaan, meski demikian hatiku tak putus melakukan panggilan pada semesta yang telah menghilangkan ikatanku dengannya.

"Di mana engkau Sang Agung..." hatiku menyeru pilu, meratap namun tak berjawab.

Senja yang terjelang mengarak merah mega-mega di timur, dan aku tahu sebentar lagi Lubuk ini akan tidur dalam sunyi gelap.

Tak ada yang bisa kulakukan. Sang Agung tidak di sini. Tidak di manapun dalam dunia ini yang aku ketahui tempat keberadaannya. Mimpi burukku telah digenapi dengan keberadaannya yang seakan tercerabut dari kolam suci ini, dan entah hal buruk apalagi yang akan terjadi tanpanya.

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang