4] Menyeberang

23.3K 2K 671
                                    

Part panjang, lebih dari 4600 kata.

Jelas butuh kerja keras buat ngetik atau bahkan ngeditnya.

So aku berharap banget yang baca bisa lebih mengapresiasi cerita ini dalam bentuk dukungan vote atau komen.

Wattpad kayaknya sedang memperbarui algoritmanya, so bagi yang partnya keulang-ulang, berantakan dll  jangan langsung nuduh authornya bikin cerita kacau.

Lebih baik usaha dulu keluarin cerita dari perpustakaan, trus masukin lagi, kalo nggak logout dulu trus login lagi. kalo masih nggak bisa logout wattpad dan pilih baca offline via google.

Minimal baca dulu deh tulisan ini jadi tau tahapan supaya bisa baca cerita ini versi normal, jangan langsung komen gak jelas. Kalo yang nanya cuma satu its oke, kalo banyak kan emak jadi bete, wahai Maemunah.

Ombak Banyu melangkah ke pantry dengan langkah waspada seorang pemburu.

Energinya yang pulih membuat kepercayaan dirinya kembali. Seulas senyum tipis tercetak di bibirnya yang liat saat kembali membayangkan apa yang baru saja dia lakukan untuk mendapatkan energinya kembali.

Rasanya ajaib dapat pulih dari ketidakberdayaan dengan kecepatan yang mengagumkan. Padahal dirinya bahkan tidak total bermain dalam aktivitas tadi.

Hanya saja—setelah kesenang itu berakhir—ada harga yang harus Banyu bayar. Dan dirinya sadar akan hal itu saat merasakan kehadiran Tengku Raja dan Tengku Saga di dalam kondominium itu.

Banyu menemukan keduanya duduk di depan meja pantry dengan bir dingin di tangan masing-masing.

Untuk sejenak dia hanya mampu berdiri menatap dua petinggi Dhamna itu sambil menumpu tapak tangannya pada tepian meja, “Baiklah, aku sudah siap menerima penghakiman dari kalian,” katanya dingin.

Tengku Saga menyesap birnya dengan tenang.

Namun reaksi Tengku Raja justru sebaliknya. Meski menggenggam botol bir di tangan, ketajaman mata Ombak Banyu mendapati lelaki itu bahkan belum mengurangi satu mili pun isi botolnya.

“Apa yang kau ketahui tentang Kerajaan Pantai Selatan Jawa, Banyu?” Tengku Raja bertanya tanpa mengalihkan tatapan dari botol ditangannya.

“Musuh!” Banyu menjawab singkat dan lugas. Saat tatapannya bertemu dengan mata Tengku Saga dia hanya menggedikkan bahu tak peduli, “Apalagi memangnya?”

“Dan kenapa kau menganggap mereka sebagai musuh?” kembali Tengku Raja bertanya.

Banyu mendengus sinis, “Ini membuatku jengkel Raja. Kau,” tunjuknya, “sama seperti aku  tahu pasti apa jawabannya, bukan.”

Tengku Raja mengangguk. “Anggap saja seperti itu, tapi hari ini aku ingin mendengar pandanganmu secara pribadi terhadap trah pantai selatan. Jadi berpikirlah sebelum menjawab … apa kau membenci mereka sebagai bagian sumpah setiamu pada leluhur, atau kau sebenarnya tidak peduli dengan semuanya.”

Banyu menyeringai lebar mendengar kalimat yang disampaikan bunian terkuat seantero Sumatera bahkan semenanjung Malaya itu. “Kau benar-benar ingin tahu pendapatku?” dia balik bertanya.

Untuk kali pertama sejak mereka berbicara Tengku Raja menatap sekutunya itu secara langsung. “Aku ingin kepastian!”

“Sejujurnya Raja, aku tidak peduli dengan siapapun dan apapun … dan jika aku memiliki pengetahuan tentang kerajaan pantai selatan, itu semua hanya karena  eksistensiku yang panjang di muka bumi membuatku butuh melakukan sesuatu untuk mengisi waktu luang agar tidak mati karena bosan.”

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang