5] d. Merengkuh Petaka

12.6K 1.4K 323
                                    

Masih ada yang begadangkah!?
Hyuuuk ... kepoin ini yuuuk. Ada Babang Temaram loooh.

“Masuklah Nak, ini rumah milik Banyu dan sebagai mempelainya artinya rumah ini milikmu juga.”

Padmawangi menatap Bujang Salamun dengan sepasang alis tertaut, jelas dia tidak bisa mengabaikan kalimat lelaki tua itu begitu saja. Tapi bahkan dia merasa tidak ingin repot-repot mengingkari hal  yang sepertinya memang sudah pasti itu.

“Untuk apa dia memiliki rumah sebesar ini?” Padma bertanya sambil menatap pada sekelilingnya. Rumah panggung dari kayu trembesi itu terlihat mencolok diantara kebanyakan rumah di kampung itu.

Tiap incinya berhias ukiran halus yang memberikan kesan megah dan status pemiliknya yang pantas digelar sebagai  kalangan orang kaya lama berdarah bangsawan.

Bujang Selamun tersenyum bijak mendengar pertanyaan itu. “Mungkin sulit dipercaya, tapi rumah ini sudah berusia lebih dari seratus limapuluh tahun.

Banyu yang membuatnya dengan bantuan Kakek Buyutku. Di masa itu penduduk kampung hanya mengenalnya sebagai Raden Kumbhila, seorang tuan tanah dan saudagar yang menjadi pelindung bagi warga kampung.

Tapi seiring perkembangan jaman, dengan wujud yang tidak menua Banyu memilih untuk meninggalkan tempat ini dalam penjagaan Kakek Buyutku. Tentu saja dia tidak pergi jauh, sebenarnya.”

Padma tersenyum mendengarnya. Meski tidak tahu dimana tempatnya, dia yakin Jalamathitra tidak terlalu jauh dari rumah milik Banyu itu.

Padma melangkah masuk lebih ke dalam, menemukan dua kamar yang letaknya berseberangan hanya terpisah oleh ruang duduk  cukup luas yang dipenuhi aneka perabot antik berbahan jati.

Bujang Selamun membuka salah satu pintu kamar … sebuah ranjang besar terlihat dari dalam, terselubung oleh kelambu sutera sewarna gading, sementara bagian kepala ranjang tertutup oleh kain pelapis dengan ragam hias sulaman halus yang sepertinya menggambarkan pohon yang sedang menggugurkan daun dan buahnya yang bulat dan berkulit duri kasar agak mirip percampuran durian muda. Padma mengernyit karena merasa familiar dengan pohon itu.

“Itu pohon Kadambara,” jelas Bujang Selamun menjelaskan saat menyadari arah tatapan Padma. “dan yang kau lihat seperti buah itu sebenarnya adalah bunganya, itu pohon yang dijadikan nama untuk kembaran Banyu yang hilang itu.” 

Padmawangi tertegun sesaat, ingatannya seakan tercerahkan dengan wujud pohon serupa dalam sulaman yang pernah dilihatnya. Pohon besar yang tumbuh tidak jauh dari Jalamathitra.

Entah mengapa dadanya mendadak merasa sesak menyadari jika selama ratusan tahun Banyu masih belum bisa melupakan saudarinya. Dengan dingin Padma berpaling, dan memberi tanda agar Bujang Selamun menutup pintu kamar itu.

“Kenapa?” lelaki itu menatap Padma keheranan, “Kau tidak mau tidur di kamar ini?”

“Sepertinya terlalu pribadi … ”

“Tapi kau mempelainya bukan?”

“Bukan karena kami sama-sama menghendakinya, Atuk,” bantah Padma halus.

“Oh!” Hanya itu yang Bujang Selamun ucap, tapi dia kemudian menyeberang ke arah pintu kamar yang lain. Dan membukakannya.

Kamar kedua itu berisi furniture yang diberi cat pelapis berwarna lebih terang dari kamar pertama. “Kamar ini tidak pernah ditempati siapapun sebelumnya,”

"Ini terasa bersih dan layak untukku tempati Atuk.” Potong Padma cepat.

Bujang Selamun mengangguk, “Sebelum malam aku akan meminta anakku untuk kemari mengantar makanan dan menemanimu malam ini, namanya Salma. Jika dia bertanya, katakan saja kau cucu dari Raden Kumbhila, itu akan lebih mudah untuk dimengerti orang.”

Pengantin BunianOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz