Dari Bayangan Hutan (13)

6.9K 1.3K 318
                                    

Hai ... Hai ... Hai ....

Balik lagi nih emak bawa Abang kita tercinta.

Maaf ya lama, harap maklum ya kalo lagi dapet siklus bulanan Emak emang puasa nulis ini. Menjauhi resiko ajalah ya.

Tambah lagi lambung dan batuk Emak baru reda dua hari lalu, so waktunya dipake bener-bener buat memulihkan diri.

Jadi emak pengen kepo nih, daerah mana aja sih yang udah memberlakukan pembatasan wilayah terkait pandemi covid-19? Sebutin ya!

Beberapa hari lagi udah masuk Ramadhan ya, biasanya kan ada keluarga yang gelar acara Ruwahan tapi karena kita harus patuh dengan anjuran social distancing yang mau gelar hajatan bisa alihkan dananya buat bagi-bagi sembako dong ya! Jangan lupa untuk selalu peduli sesama di sikon musibah pandemi melanda ya, karena mungkin bantuan kecil kita bisa jadi sangat berarti buat yang membutuhkan.

Salam sayang selalu dari Emak buat pecinta Abang Dewa dan Kana.

  
Tak lama setelah Bang Dewa pergi, Incik Kaseh memanggil beberapa dayang wanita yang memiliki keahlian beladiri yang cukup mumpuni untuk ikut mengawal kami.

“Ingat pesan saye!” beliau mengingatkan kami semua, “kalau saye mesti turon tangan, kalian jage Kana baik-baik … kalau situasi tak aman cepat bawe die pegi balik kat ume besa’, ok.”

“Baikla Tengku.”

“Ade yang nak kau tanye Kana?” Incik menatapku seakan menyadari keingintahuan yang sejak tadi terpendam di hati.

Aku mengangguk ragu, “yang seperti ini sering terjadi?”

“Tak sering, tapi ade saje yang nak cari tau cite seputar belantare ni, sebagian tergerak karna myth sebagian lagi karne mereka nak leba’kan kebun sawit mereka la.”

Aku mengangguk paham, dan setelahnya dengan patuh ikut perintah Incik untuk digandeng.

Dalam sejab mata kami sudah berpindah tempat di atas pohon rindang tak jauh dari tempat sekumpulan orang tampaknya tengah bertarung secara fisik.

Andai Incik Kaseh tidak menggandengku erat kupastikan aku sudah jatuh dari ketinggian ke tanah di bawah sana.

Aku tidak melihat prajurit istana seperti yang tadi sempat mengunjungi kami, sebaliknya justru pria-pria berpakaian seragam polisi hutan lah yang tengah menghadapi pria-pria kekar yang tampaknya memang di bayar untuk menerobos masuk ke hutan ini.

“Orang tu lagi!” aku mendengar Incik berseru kesal. “Tak penat die orang bikin problem.”

“Siapa Cik?”

“Budak tak tau di untung tu namenye Bujang Tatong … die berilmu, belajar kat gaib dari Banten dan bekawan dengan orang sakti dari Nias, die tu di baya’ same serikat kebon sawit kat sini unto’ ambik segale tana’ ni bia’ digarap jadi kebun.”

Bujang Tatong lelaki sekitar usia empatpuluhan, perawakannya tinggi kurus, wajahnya cukup enak dipandang, andai saja berkulit sedikit lebih terang maka orang akan menemukan kemiripannya dengan Sultan Brunei yang berkuasa saat ini.
 
Di sisi lain, lawannya adalah pemuda sebaya Bang Dewa, wajahnya mengingatkanku pada Aiman, aktor tampan negeri jiran yang main di film yang pernah kutonton bersama sepupu-sepupuku saat kami liburan di KL tahun lalu.

“Lalu kenapa lawannya justru polisi kehutanan? Kenapa bukan prajurit istana yang muncul.”

“Kau liat orang yang di pinggangnye ade pisau tu?” tunjuk Incik pada polisi kehutanan yang mirip Aiman itu .

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang