6] a. Mempelai gelombang

14.3K 1.6K 417
                                    

Masih ada yang nungguin gak siiih!?

Kemarin-kemarin nggak unggah karena mamak lelah dan ketiduran mulu.

Semoga ini bisa buat obat kangen kalian yang nungguin ya.

Padmawangi berjalan dengan sangat hati-hati meniti langkan kayu yang menghubungkan beranda belakang rumah milik Banyu ke arah dermaga tambatan perahu di  sungai Batanghari.

Saat itu remang masih menunggu cahaya fajar karena Subuh belum sepenuhnya meninggalkan bumi.

Dalam gelap Padma bisa mendengar suara arus diantara gerimis yang jatuh ke atas permukaan sungai juga lantai kayu dermaga tempatnya berdiri. Sambil menahan dingin Padma memantapkan langkah ketepian dermaga, meski tidak tahu apa yang dia tuju.

Meski enggan untuk mengakui, tapi Padma seakan dibimbing semacam firasat halus yang mengatakan jika Banyu akan kembali padanya. Dan  dirinya memutuskan untuk menunggu di tempat yang tepat.

Gelombang yang bergulung ketepian menampar landasan landai dermaga membuat langkah Padma terhenti.

Suatu keanehan menyaksikan gelombang seperti itu bergerak ke tepian, apalagi saat sungai berada dalam ketenangan tanpa adanya aktivitas manusia dengan kendaraan air yang membelahnya.

Dengan keheranan gadis itu menanti gelombang lanjutan berusaha memahami fenomena apa gerangan yang terjadi. Dan saat gelombang kedua menghamburkan air dalam jumlah yang lebih banyak dan bahkan hampir mencapai ke arahnya yang berjarak hanya sekitar tiga meter dari batas dermaga Padma yakin ada yang tidak beres.

Padma menatap lantai dermaga yang kini basah seluruhnya. Dan gadis itu hanya mampu menghela nafas saat melihat warna yang melapisi lantai warna kelabu akibat warna asli kayu yang sudah memudar.

“Darah!” dirinya terkesiap tidak percaya. Bersamaan dengan itu gerakan air yang berubah menjadi lebih gelap seolah mendekat … mendatanginya dalam wujud yang sama seperti apa yang pernah membuatnya meregang nyawa.

‘Selingkup!’ batin Padma menyerukan kesadaran akan makhluk yang tengah mendekat itu. Akan tetapi diantara rasa takut yang mendatangi hatinya Padma bahkan tidak mundur sedikitpun. Secara refleks indera-inderanya bagai terjaga, siaga dan siap untuk menghadapi jejadian yang ingin mengajaknya kembali bermain-main.

Bayangan hitam menjalar merambati  tepian langkan, Padma tahu dirinya harus cepat lari menyelamatkan diri tapi seakan tengah ditunggapi sesuatu, adrenalin berpacu dalam darahnya saat dirinya justru menyongsong makhluk itu dan dengan gerakan cepat menangkap sulur hitam yang merupakan rambut sang hantu air.

Dengan sekuat tenaga Padma menarik sulur hitam itu, raungan aneh mirip suara anak sapi dengan dengung mesin pesawat terdengar memilukan.

Namun seakan tak memiliki belas kasih Padma—dalam keberanian ajaib yang dia miliki—terus menarik benda ditangannya hingga sebuah tonggak kayu yang menyala terangkat ke sungai.

Senyum sinis tersungging di bibir Padma ketika berhasil menarik sang selingkup sial itu hingga ke tepian sungai. Meski sang selingkup melakukan perlawanan dengan membelitkan sulur-sulur hitamnya ke tubuh Padma, anehnya rasa takut justru menjelma jadi kepuasan terselubung yang menjalari diri Padmawangi, nyaris terasa buas oleh dahaga dan lapar yang mendadak merasuki.

Padma membuka bibir, udara seakan berputar-putar dan terhisap ke mulutnya menyedot bayangan hitam itu, mengubah wujud sang selingkup menjadi kabut pekat yang meronta dengan seluruh kekuatannya, berjuang agar tidak terisap oleh kekuatan apapun yang merasuki Padmawangi.

Namun semuanya tidak menghasilkan apapun, selain kematian bagi sang selingkup.

Padma menyeka bibir dengan kepuasan tercermin dalam matanya. Saat itulah dia sadar jika remang sudah berganti  cahaya jingga yang rupawan.

Pengantin BunianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang