BAB 3

165 57 4
                                    

Cahaya matahari berpendar menari nari dari balik celah tirai yang setengah terbuka. Aku mendapati diriku tertidur diatas kasur dengan selimut melindungi tubuhku. Mataku mengerjap ngerjap malas, menatap langit langit atap yang tinggi yang membentuk pola lingkaran dengan lampu gantung bertengger dibawahnya. Jam di dinding menunjukan pukul 09.05 itu artinya aku harus segera beranjak mandi dan memesan makanan.

Aku tak melihat Luke di samping ku tertidur. Suasana kamar pun sangat sepi. Pasti pagi pagi sekali ia telah pergi membicarakan jadwal untuk bandnya. Hal yang sangat biasa terjadi.

Setelah mandi dan mengganti pakaian. Aku segera bersiap untuk turun. Perutku benar benar keroncongan, ditambah lagi semalam aku tak makan apapun sejak tiba dari LA. Hanya sebungkus burger dan banyak air.

Namun mataku mengerjap ngerjap bingung saat melihat ada pemandangan yang aneh saat aku kembali dari kamar mandi. Ruangan itu telah rapi. Ditambah lagi dengan tersedianya sarapan pancake coklat kesukaanku dan coklat panas. Tirai jendelanya juga sudah dibuka keseluruhan hingga ruangan menjadi terang benderang.

"pagi..." dari belakang, sesesorang memelukku dan mencium rambutku, melingkarkan kedua lengannya dipinggangku.

"apa ini?" tanyaku membalikan badan.

Luke tersenyum dengan mata yang masih sayu karena kelelahan. Kantung matanya  terlihat jelas.

"permohonan maaf karena semalam aku menghancurkan semuanya."

"benarkah?"

"tak seharusnya kau melihatku seperti itu semalam."

"aku sudah sering melihatnya"

"dan karena itu aku meminta maaf."

"kau akan tetap melakukannya, walaupun aku memaafkanmu..."

"benar..." ia tersenyum dengan memperlihatkan giginya.

Aku mendesah, melepaskan lengannya yang melingkar dikedua sisi tubuhku. Lalu duduk di meja itu. Sambil menghadap kearahnya, ku amati wajahnya yang pasi dengan baik baik.

"aku tak suka melihatmu mabuk." Ujarku jujur

"aku tahu."

"dan?"

Ia hanya diam

"dan?" desakku

"sebisa mungkin aku tak akan melakukannya lagi."

Aku mendesah, bagaimanapun ia tak akan pernah berjanji untuk yang satu ini.

"kau tak boleh melakukannya lagi tanpa alasan apapun. Aku tak melarangmu minum, tapi semalam kau lebih kacau dari gelandangan diluar sana, Luke. Berapa banyak yg kau habiskan, 10 botol? Kau nyaris membuatku marah dan meninggalkanmu dihadapan paparazzi-paparazzi gila itu "

"maaf..."

Aku terdiam mencibir

Kedua tangannya lalu menangkap kedua sisi wajahku dengan lembut, memaksaku untuk menatapnya. Matanya melebar, memperlihatkan pancaran warna hijau yang indah. Alisnya tertarik keatas, tanpa bicara pun aku sudah tau bahwa ia sedang memohon padaku

Ini jelas tidak adil, ia dengan mudahnya menemukan titik terlemah dalam diriku hingga aku jadi tak berdaya. Bagaimana bisa tatapan seperti malaikat yang memohon ampun ini tidak dikabulkan?

Dia selalu menang.

"baiklah, kau mendapatkannya." Kusentuh kedua sisi wajahnya juga lalu mencium bibirnya dengan pelan.

Ada sedikit celah senyum yang terangkat dari bibirnya. Sejurus tangannya langsung berangsur turun menyelusuri tengku leherku, dengan nafas memburu balik menciumku dengan cepat. Aku terkekeh saat tangannya merayap kekupingku. Ia tahu itu area yg slalu membuatku tergelitik. Tanpa berhenti bibirnya melumat bibiku lagi, lari kepipi, hidung, dahi, turun lagi kepipi dan sekaarang merayap kepelipis. 

STAY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang