BAB 5

138 57 5
                                    

Aku dan Luke tiba di Bandar Udara International Los Angeles pada pukul 8 malam. Luke sengaja menyewa supir untuk menjemput kami, kondisi bandara yang mendadak ramai dan ricuh oleh kehadiran paparazzi membuatnya sedikit kewalahan. Ia benar benar memastikan bahwa kami tidak akan berdesakkan ketika keluar dari sana. 

Saat kami berjalan menuju mobil yang terparkir cukup jauh, Luke tak merespon pertanyaan apapun yang ditujukan padanya. Beberapa fans berlarian memintanya untuk berfoto, tapi ia juga menolak. Aku tau ia benar benar tak ingin berada disitu lebih lama, terutama karena rumor tentang dirinya dan Harry semakin menyebar dan ia tak akan menjawab pertanyaan apapun. 

Aku menghidupkan lampu rumah yang mati ketika kami sampai. Rumah yang Luke beli ini berada tak jauh dari jalur kereta, jadi meskipun tengah malam akan terdengar bising. Aku tak mengizinkannya membeli rumah besar. Pertama karena aku benci kesepian, dan jika ia pergi untuk bekerja aku akan sangat ketakutan berada dirumah yang besar. 

Rumah ini benar benar kecil dan sederhana, berada dijalanan kecil persimpangan lampu merah di kota Los Angeles. Hanya berisi satu kamar, dapur dengan minibar yang hanya muat untuk 4 orang, satu kamar mandi, ruang nonton tv yang berhadapan langsung tepat didekat minibar dan studio seniku diruang bawah tanah. Kami mendekorasi rumah itu menjadi senyaman mungkin. Aku dan Luke punya selera yang sama tentang seni, jadi tak banyak barang berharga atau pajangan dirumah itu. Hanya deretan tembikar, lukisan hasil pameranku, dan kepingan piringan hitam koleksi Luke. 

Kuletakkan seluruh tas di sofa tv, kemudian menyalakan seluruh lampu ruangan sehingga menjadi terang. Luke membantuku menyalakan pemanas karena udara diluar nyaris mencapai -10 derajat. Saat hendak berbaring aku mendengar telponnya berdering, sesaat ia menatap ponselnya lalu berjalan keluar untuk mengangkatnya. 

Aku ingin tau siapa yang membuatnya harus mengangkat telpon dengan jarak jauh dari ku, tapi keburu ingin buang air kecil. Jadi aku langsung berlari kekamar mandi. 

Aku menyiapkan makan malam dengan membuat lasagna, berkutat didapur cukup lama. sementara Luke tak kunjung muncul setelah sejak tadi menerima telpon entah dari siapa. Setelah mengeluarkan minguman soda dari kulkas, kupersiapkan dua piring dan gelas di atas minibar kecil tempat biasa kamu makan. 

"Luke...." panggilku setelah semua selesai.

Ia tak menyahut, jadi aku menyusulnya keluar. ia sedang berada teras depan, masih berbicara ditelpon dengan suara berbisik bisik. tampaknya ia sangat serius hingga tak menyadari aku berjalan mendekatinya. 

"....oh, jelas kau menyulitkanku, Adam! Tidak, aku tidak setuju ide bodoh itu!" aku menangkap suara suara kemarahan dalam dirinya, entah apa yang ia bicarakan tapi aku yakin ia sedang bicara dengan Adam. 

Apa mereka sedang membicarakan tentang rumor itu? apakah Adam sedang berusaha membujuknya meminta maaf pada Harry?

Tiba tiba saja tubuhnya berbalik dan terkesiap kaget melihatku telah berada dibelakangnya. matanya tampak gelap dan lebar.

"apa yang kau lakukan?" 

"aku memanggilmu sejak tadi, tapi kau tidak dengar"

"ayo masuk, disini dingin." ia segera mematikan telponnya dan menarik pinggangku, dengan mudah membuatku berbalik dan berjalan masuk bersama dengannya. 

"apa itu telpon dari Adam?"

"ya.."

"ada apa?"

"bukan hal penting."

"benarkah? apa ini tentang.... Harry?"

"bukan..."

Alisku mengernyit bingung "lalu apa ada hal lain yang membuatmu harus menolak permintaan Adam?"

STAY.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang