BHARATAYUDA ENAM - DRUPADA WINISUDA

1K 27 0
                                    

Flashback Padepokan Hargajembangan.

Resi Baratwaja sedang bercengkerama dengan Bambang Kumbayana. Ayah sekaligus guru yang dikenal mumpuni dalam ilmu lahiriyah maupun batiniyah itu memberi wejangan banyak hal kepada sang putra.

"Untuk menjadi seorang kesatria besar, tidak cukup hanya menguasai ilmu kanuragan, anakku Kumbayana. Engkau juga harus mempelajari ilmu yang lain. Tata praja, kesatriaan, dan tapa brata." Tutur Resi Baratwaja.

"Iya, ayahanda. Angkatlah aku sebagai cantrikmu." Jawab Bambang Kumbayana kecil.

Hari telah senja. Langit diatas Hargajembangan mulai dipenuhi semburat rona jingga. Tampak seorang lelaki yang juga bersama anaknya memasuki padepokan milik Resi Baratwaja.

"Salamku untukmu, adi Baratwaja." Sapa sang tamu.

"Kuterima dengan senang hati, semoga para dewa melimpahkan berkahnya kepada kita semua, kakang Arya Dupara." Jawab Resi Baratwaja.

"Angin apa yang membawamu kemari kakang? Ayo masuklah." Lanjut sang resi.

Sesaat dua orang sepupu, Resi Baratwaja dan Arya Dupara berpelukan. Disusul kedua anak lelaki mereka yang saling berjabat tangan.

"Duduklah, kakang. Ceritakan apa tujuanmu datang kemari." Resi Baratwaja membuka percakapan.

"Aku kemari mengantarkan putraku ini. Namanya Arya Sucitra. Kutitipkan ia di padepokanmu agar menimba banyak ilmu disini." Jelas Arya Dupara.

"Suatu kehormatan bagiku, kakang Arya Dupara. Engkau mempercayai padepokan ini sebagai tempat membentuk jiwa kesatria putramu. Kebetulan putraku Bambang Kumbayana seusia dengannya. Biarlah mereka sama-sama menjadi cantrikku." Tutur Resi Baratwaja.

"Terima kasih, adi Baratwaja. Sekiranya aku tidak bisa lama-lama disini, aku pamit. Sekali lagi aku titip putraku. Didik dan bentuk jiwanya. Jangan segan-segan menghukum jika ia memang bersalah." Arya Dupara berpamitan.

"Sucitra, aku pulang dulu. Jaga dirimu disini baik-baik. Patuhilah segala titah gurumu, Resi Baratwaja!" pesannya sambil mengusap-usap rambut Arya Sucitra.

"Sendika dhawuh, ayahanda." Jawab sang putra, sembari mencium tangan Arya Dupara.

Hari itu, Arya Sucitra diterima menjadi cantrik Resi Baratwaja. Sementara Bambang Kumbayana, putra sang resi gembira bukan main. Akhirnya ia mendapat teman bermain. Sekaligus saudara seperguruan di pedepokan Hargajembangan. Sama-sama diasuh oleh ayahnya, Resi Baratwaja.

Minggu berganti bulan. Tahun pun terus berjalan. Arya Sucitra dan Bambang Kumbayana ditempa oleh sang guru menjadi kesatria yang digdaya. Dibekali juga ilmu tata praja, olah keprajuritan, dan tapa brata.

Bambang Kumbayana tumbuh menjadi kesatria yang sakti mandraguna dalam ilmu kanuragan. Sementara Arya Sucitra sangat mumpuni dalam ilmu tata praja dan ilmu kenegaraan.

Atas nasehat gurunya, Resi Baratwaja, maka Arya Sucitra disarankan mengabdi ke negeri Astina.

"Muridku Arya Sucitra, engkau sangat menonjol dalam ilmu tata praja dan tata negara. berangkatlah ke Astina menemui Prabu Pandudewanata. Sampaikan salamku untuknya. Mengabdilah disana." Tutur Resi Baratwaja.

"Sendika dhawuh, guru. Hamba mohon pamit." Jawab Arya Sucitra ketika suatu hari dipanggil gurunya.

*****

Tersiar berita bahwa Prabu Gandabayu, raja negeri Cempalareja mengadakan sayembara perang tanding. Siapa yang bisa mengalahkan putranya Gandamana, akan dijodohkan dengan putri sulungnya, Dewi Gandawati.

Prabu Pandudewanata yang sangat segan dengan sikap dan kedigdayaan Arya Sucitra selama mengabdi, memanggil punggawanya itu.

"Sucitra, ikutlah sayembara di Cempalareja. Kalahkan Gandamana!" perintah Prabu Pandudewanata, raja negeri Astina. Ayah dari para Pandawa.

"Sendika dhawuh, gusti prabu." Jawab Arya Sucitra.

Kesatria muda dari padepokan Hargajembangan itu pun berangkat ke Cempalareja, menuju palagan adu kanuragan menghadapi putra Prabu Gandabayu.

*****

Banyak kesatria yang menyerah dan jatuh tersungkur saat mencoba bertanding dengan pangeran Cempalareja. Tak ada satu pun yang sanggup meneruskan sayembara.

Muncullah seorang lelaki muda dihadapan Gandamana, "perkenalkan aku Arya Sucitra, dari padepokan Hargajembangan."

"Besar juga nyalimu, kesatria muda." Jawab Gandamana yang langsung tancap gas. Tendangan dan pukulan telaknya nyaris mengenai dada Arya Sucitra yang belum sempat memasang kuda-kuda.

Sesaat terjadi saling serang antara keduanya. Gandamana tampil kesetanan, mengerahkan semua kekuatannya. Tetapi gemblengan selama puluhan tahun oleh Resi Baratwaja membuat Arya Sucitra tak mudah dikalahkan.

Ketika berlangsung pertarungan, datanglah Prabu Pandudewanata yang memasuki palagan melalui dimensi lain.

Mengetahui punggawa kesayangannya sedang berimbang dalam adu tanding, Prabu Pandudewanata menyalurkan kedigdayaaan ke Arya Sucitra. Selesailah perlawanan Gandamana!

Arya Sucitra memenangi sayembara dan menikah dengan Dewi Gandawati.

Berselang beberapa tahun kemudian, Prabu Gandabayu menyatakan turun tahta dan hendak mewariskan Cempalareja ke pangeran Gandamana. Tetapi putranya menolak. Maka diangkatlah menantunya, istri Dewi Gandawati menjadi penerusnya.

Arya Sucitra menjadi raja Pancala (Cempalareja) dan bergelar Prabu Anom Drupada.

Dari pernikahannya dengan Dewi Gandawati, Prabu Drupada dikarunia tiga orang anak.

Pertama Dewi Drupadi, kelak menjadi istri Prabu Puntadewa. Kedua Dewi Wara Srikandi, diperistri oleh Arjuna setelah berhasil mengalahkan Prabu Jungkungmardeya dari negeri Parangkubarja yang hendak menyerang Pancala. Terakhir adalah Arya Drestadyumna yang dalam perang Bharatayuda menjadi senopati Pandawa.


BHARATAYUDA JAYA BINANGUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang