BHARATAYUDA TUJUH - BASUKARNA GUGUR

1.4K 28 5
                                    

Derap kaki kuda penarik kereta Kyai Jatisurya dan Kyai Jaladara meninggalkan debu yang mengepul di tanah Kuru Setra. Membuat kawanan burung pemakan bangkai berhamburan terbang menjauhi tanah perang.

Sorak sorai kedua pasukan kian membakar semangat Adipati Karna dan Arjuna.

Saat jarak keduanya semakin dekat, tiba-tiba langit menjadi gelap. Guntur terdengar menggelegar berkali-kali. Awan hitam tampak bergulung mengitari padang Kuru Setra. Dari penglihatan kedigdayaannya, Adipati Karna bisa mengetahui awan hitam itu adalah perwujudan dari seekor naga.

“Siapa engkau naga hitam?” tanya Basukarna, ketika naga terus mengitari keretanya.

“Aku raja Goa Barong, Prabu Hardawalika!” jawab sang naga.

“Apa maumu mengganggu konsentrasiku berperang?” tanya Karna lagi.

“Aku menaruh dendam kepada Arjuna, aku datang untuk membantumu membunuhnya, Karna!” jelas Naga Hardawalika.

“Dengarlah naga tak tahu diri. Permadi adalah adikku. Seburuk apapaun perseturuanku dengannya, tak akan kubiarkan engkau menyentuhnya! Enyahlah engkau sebelum kuhancurkan wujudmu!” Hardik Adipati Karna.

“Dasar orang tak tahu diuntung. Baiklah, akan kuhabisi sendiri Arjuna!” Melesat Naga Hardawalika meninggalkan kereta Kyai Jatisurya. Terbang mengangkasa kembali.

Awan hitam tebal itu kini mengitari kereta Kyai Jaladara yang ditunggangi Arjuna.

“Adikku Permadi, lihatlah awan hitam diatas kita. Itu adalah perwujudan dari Prabu Hardawalika dari Goa barong. Ia sedang menjelma menjadi seekor naga hitam!” tutur kusir kereta, Prabu Kresna.

“Iya, kakang Prabu. Aku melihatnya.” Jawab Arjuna.

“Segera lepaskan anak panahmu. Sempurnakan ia terbang ke alam sunyaruri!” lanjut Prabu Kresna.

Dengan sigap, sang kesatria Pandawa segera mencabut anak panahnya. Direntangkan busurnya lebar-lebar. Sekali bidik, pusakanya melesat menembus awan hitam diatas Kuru Setra.

Guntur menggelegar!

Terdengar auman keras. Seketika Prabu Hardawalika sempurna terbang ke alam keabadian!

*****

Prabu Kresna kembali menggeber Kyai Jaladara. Kereta milik Bethara Wisnu yang ditarik empat ekor kuda putih itu tak kalah berkilauan dengan kereta Adipati Karna pemberian Bethara Surya.

Dari arah berlawanan, Prabu Salya yang menjadi kusir menantunya tak kalah bersemangat. Dua kuda penarik keretanya terus ia pacu. Hingga jarak kedua kesatria besar itu kian dekat.

Tiba-tiba, Adipati Karna memberi isyarat untuk memperlambat laju kereta, “Ayahanda Prabu, tahan laju Kyai Jatisurya.”

“Ada apa, Karna? Lihatlah musuhmu, kereta mereka semakin kencang!” ucap Prabu Salya.

“Hamba titip istriku Surtikanti, ayahanda Prabu.” Ucap Adipati Karna lirih.

“Apa yang kau ucapkan, Karna?” tanya Prabu Salya, suaranya mulai bergetar mendengar kalimat yang terlontar dari menantunya.

“Ayahanda Prabu, mata batinku sudah melihat Bethara Yamadipati telah melambai-lambaikan tangan kearahku. Firasatku mengatakan bahwa hari kematian menantumu ini telah tiba. Maafkan semua kesalahan yang pernah ananda perbuat. Sekali lagi, sembah dan bhaktiku untuk ayahanda Prabu. Sampaikan salamku untuk Surtikanti.” Tutup Adipati Karna.

Prabu Salya tak sanggup membalas ucapan menantunya. Butiran-butiran bening mengalir di sudut bibirnya.

Kembali ia memacu kereta Kyai Jatisurya sekencang-kencangnya. Membelah barisan prajurit Kurawa.

BHARATAYUDA JAYA BINANGUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang