BHARATAYUDA DELAPAN - BANJARAN NARASOMA 1

1K 27 2
                                    

Istana Mandaraka,

Prabu Mandrapati sedang berkumpul dengan istrinya Dewi Tejawati dan kedua putra putrinya. Pangeran Narasoma dan Dewi Madrim.

Hari itu Mandrapati dan Tejawati hendak mengutarakan keinginan yang sudah lama terpendam. Putra sulung sekaligus pewaris tahta Mandaraka telah menginjak dewasa. Namun belum pernah terlihat gelagat bahwa Narasoma menaruh hati kepada seorang wanita.

"Putraku Narasoma, sebantar lagi engkau akan duduk di singgasana Mandaraka ini, menggantikan posisiku. Tetapi hingga hari ini, aku belum melihat dirimu memiliki calon pendamping hidup." Prabu Mandrapati membuka pembicaraan.

"Maafkan ananda, ayahanda prabu. Narasoma belum tertarik sedikitpun untuk melangkah ke jenjang pernikahan." Jawab sang putra mahkota.

"Usiamu telah lebih dari cukup. Istana ini beserta seluruh wilayah Mandaraka juga akan menjadi milikmu. Apalagi yang masih engkau tunggu?" tanya sang ayah lebih lanjut.

Pangeran Narasoma dikenal berwatak keras dan ugal-ugalan. Ia lebih menyukai perkelahian dan membikin onar kesana-kemari, ketimbang menyiapkan diri sebagai calon pewaris tahta Mandaraka.

"Ayahanda prabu, bukannya Narasoma tidak ingin memiliki calon permaisuri. Tetapi dalam hati aku berkeinginan hanya akan menikahi wanita yang kecantikannya bisa melebihi ibundaku, Dewi Tejawati!" jelas Narasoma.

"Jangan begitu putraku, masih banyak wanita yang jauh melebihi ibumu ini. Apalagi sekarang aku sudah tua." Dewi Tejawati ikut andil bersuara.

"Satu lagi, Narasoma hanya akan menikah setelah ayahanda prabu mangkat, atau menyerahkan seluruh Mandaraka kepadaku!" jawab sang putra mahkota dengan congkaknya.

"Jaga sopan santun dan tata karma, putra mahkota!" Prabu Mandrapati mulai tersinggung.

"Apakah aku tidak sopan?" Narasoma mencoba mengelak.

"Serahkan tahta Mandaraka!" lanjutnya.

"Kurang ajar engkau Narasoma. Dasar anak tidak kenal sopan santun. Pergi kau!" sabda Prabu Mandrapati.

Dewi Tejawati dan Dewi Madrim yang masih kecil mencoba menenangkan sang raja, tetapi kelakuan Narasoma sudah menyinggung perasaan Prabu Mandrapati.

"Baiklah, aku pamit kanjeng ibu! Jaga dirimu baik-baik adikku, Madrim!" dengan langkah cepat, Pangeran Narasoma segera meninggalkan istana Mandaraka.

*****

Berhari-hari sang putra mahkota terus berjalan meninggalkan negerinya. Tak terasa ia telah jauh pergi dari Mandaraka.

Pangeran Narasoma menghentikan langkah ketika melihat sebuah padepokan di Argobelah. Ia pun berniat singgah disana.

"Silahkan masuk, kisanak. Sedang mencari siapakah engkau?" suara lembut dari belakang sontak mengagetkan Narasoma yang berdiri mematung di depan halaman padepokan.

"Oh ... maaf, aku tidak melihatmu tadi." Mata putra mahkota Mandaraka terbelalak tatkala mengetahui sosok yang baru saja menyapanya.

Wajahnya cantik seperti bidadari. Kulitnya putih bersih dengan perawakan lencir.

"Bidadari ini benar-benar melebihi kecantikan ibundaku." Gumam Narasoma dalam hati.

"Siapa namamu?" Narasoma memberanikan diri bertanya kepada wanita yang kini telah berhadapan dengannya.

"Aku Setyowati, putri Begawan Bagaspati, pertapa di padepokan ini." Jawab sang gadis, lalu menunduk.

Pangeran Narasoma tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya tersenyum sambil pandangannya tak lepas sedikitpun dari sosok Dewi Setyowati. Putra mahkota Mandaraka itu merasa bahwa kini ia telah menemukan wanita yang pantas menjadi pendamping hidupnya.

Menjadi permaisuri Mandaraka.

"Setyowati ..." bisik Narasoma lirih.

"Ah, jangan memandangiku seperti. Engkau sendiri belum memperkenalkan diri. Siapa gerangan kisanak?" Dewi Setyowati memalingkan wajah. Tersipu membalas tatapan mata pemuda gagah di hadapannya.

"Namaku Narasoma. Aku sedang berkelana, jauh meninggalkan negeri asalku Mandaraka." Jawab Narasoma.

"Antarkan aku menemui ayahmu. Aku ingin menimba ilmu di padepokan Argobelah ini." Lanjutnya.

"Baiklah, ayo silahkan masuk." Setyowati mempersilahkan Narasoma menunggu di serambi padepokan.

Tak berselang lama, keluarlah seorang lelaki tua dari dalam rumah beratap daun ilalang. Berjalan ke arah serambi, tempat Narasoma menunggu.

Wujudnya raksasa!

Garis wajahnya terlihat garang dan menakutkan.

"Ya Jagad Dewa Bhatara, makhluk apakah ini?" sontak putra mahkota Mandaraka meloncat dari tempat duduknya ketika melihat sosok yang menghampirinya.

"Jangan takut kisanak. Duduklah kembali." Ucap sosok raksasa itu sambil mengumbar senyum bersahabat.

Narasoma semakin heran. Ternyata suara lelaki menakutkan itu tak sejelek wujud tubuhnya. Ia sangat ramah. Suaranya juga terdengar sangat berwibawa.

"Akulah Begawan Bagaspati, pertapa di padepokan ini. Putriku Setyowati sudah menceritakan perihal niat kedatanganmu kemari." Lanjut sang Begawan.

"Salamku untuk sang Begawan. Terimalah aku menjadi cantri di sini." Jawab Narasoma.

"Dengan senang hati. Mulai hari ini belajarlah dengan sungguh-sungguh. Tinggallah di sini bersama murid yang lain." Tutup Begawan Bagaspati.

*****

Berbulan-bulan tinggal dan menimba ilmu di padepokan Argobelah, kepintaran Narasoma semakin disukai Begawan Bagaspati. Ia pun menjadi murid kinasih dari ayah Setyowati itu.

Diam-diam, sang pertapa sakti juga memiliki keinginan untuk menjodohkan putra mahkota Mandaraka dengan putri semata wayangnya.

Begawan Bagaspatiyang digdaya sejatinya mengetahui siapa Narasoma. Begitu juga dengan benihcinta yang dipendam sang murid kinasih. Ia bisa melihat dari mata batin,putrinya Dewi Setyowati telah meluluhkan perasaan Narasoma.

BHARATAYUDA JAYA BINANGUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang