BHARATAYUDA ENAM - PRABU DRUPADA GUGUR

1.2K 32 8
                                    

Kabar penobatan Arya Sucitra menjadi raja muda di Pancala tersebar ke berbagai penjuru negeri sekitarnya. Resi Baratwaja yang mendengar ikut gembira.

"Kumbayana, datanglah ke Pancala. Sampaikan salamku untuk Sucitra. Aku ikut bahagia dengan keberhasilannya naik tahta." Perintah Resi Baratwaja.

"Sendika dhawuh, ayahanda." Jawab Bambang Kumbayana. Berangkatlah ia seorang diri ke Pancala. Menemui saudara sepupunya. Arya Sucitra.

*****

Paseban agung Pancala,

Seorang raja muda nampak gagah duduk di singgasana megah. Puluhan punggawa bersila di hadapannya dengan khidmat. Mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang sabda sang raja.

"Hai kakang Sucitra, engkau sudah menjadi orang mulai sekarang?" Seorang lelaki tiba-tiba memasuki pendopo Pancala.

"Adi Kumbayana?" terperanjat Prabu Drupada dengan kedatangan sepupu sekaligus saudara seperguruannya.

"Gagah sekali engkau dengan baju itu, kakang Sucitra. Hahaha ... !" tertawa terbahak-bahak Bambang Kumbayana. Ia tidak menyadari bahwa saat ini sedang berhadapan dengan raja Pancala.

Prabu Drupada hanya tersenyum. Tidak menjawab kelakar saudara seperguruannya. Ia harus tetap menjaga wibawanya sebagai seorang raja di hadapan para punggawa tinggi Pancala.

"Maaf kisanak, sedikitlah sopan. Jaga tata krama di pendopo agung ini!" tegur seorang punggawa. Patih Gandamana. Adik ipar Prabu Drupada, yang dahulu menolak mewarisi tahta dari ayahnya.

"Hahaha ... tidakkah kalian semua tahu, kakang Sucitra ini adalah saudara sepupu dan seperguruanku!" Bambang Kumbayana masih mengumbar tawanya. Ia pun tetap berdiri di tengah pendopo. Tak menghiraukan semua punggawa Pancala yang duduk rapi bersimpuh.

"Kuperingatkan sekali lagi. Jaga tata krama! Panggil dengan sebutan Gusti Prabu!" Gandamana mulai hilang kesabaran. Suaranya bernada tinggi.

"Katakan kepada mereka! Kita ini bersaudara, kakang Sucitra ... hahaha!" lanjutnya.

"Enyah kau, orang tak punya sopan santun!" Seketika Gandamana berdiri dan menyeret Bambang Kumbayana keluar dari pendopo agung Pancala.

Tanpa sempat memberikan penjelasan, Bambang Kumbayana sudah dihajar habis-habisan oleh Gandamana. Tubuhnya ditendang kesana kemari di halaman pendopo.

"Kakang Sucitra, jelaskan kepada prajuritmu ini!" teriak Bambang Kumbayana. Ia sengaja tidak memberikan perlawanan, karena tak ingin membuat pertikaian dengan saudaranya.

Prabu Drupada tak mampu berbuat banyak. Di satu sisi, kedatangan Bambang Kumbayana tentu ingin bertemu dengannya setelah sekian lama berpisah. Di sisi lain, tingkahnya yang melanggar tata krama paseban agung tidak bisa dimaafkan punggawanya.

Bambang Kumbayana pun kecewa dengan sikap Arya Sucitra yang hanya diam dan tak mau memberikan penjelasan kepada para punggawanya. Membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan Gandamana. Kesabarannya pun habis.

"Dasar kere munggah bale engkau kakang Sucitra!" teriak Bambang Kumbayana.

"Tunggulah ... aku akan datang lagi untuk membalas semua perlakuanmu ini!" sesumbarnya, lalu pergi meninggalkan halaman pendopo.

Dengan penuh perasaan sakit hati dan dendam, Bambang Kumbayana berjalan semakin jauh dari Pancala. Sejak itu, ia bertekad akan membuat perhitungan dengan orang-orang Pancala.

*****

Hari berganti minggu. Bulan tenggelam oleh perjalanan tahun. Bambang Kumbayana tumbuh menjadi sosok pertapa dan pendeta yang sakti mandraguna. Ia mengikuti jejak ayahnya, Resi Baratwaja.

BHARATAYUDA JAYA BINANGUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang