8. Pengakuan Pak Robin

3.9K 528 19
                                    

Sabtu, 10 Desember 2016
Jam 15.00 WIB.

Buliran-buliran air tumpah dari langit menuju bumi, diiringi hawa dingin yang menusuk serta aroma tanah bercampur air hujan yang khas, percikan-percikan air hujan membasahi ujung sepatu Anisa.

Ia sedang duduk di bangku yang langsung menghadap ke arah lapangan basket.

Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya.

Tentang misteri pembunuhan Idha, Rahma dan satu siswi lain beberapa tahun silam.

"Mayat mereka telah ditemukan, namun, penyebab mereka terbunuh masih belum terungkap, pelakunya pun belum ditangkap." Anisa mengembuskan napas kasar, ia memang tak seharusnya memikirkan hal itu, namun, terlanjur, ia telah terjebak di masalah itu, apalagi sahabatnya, Rahma, juga berada dalam masalah itu.

Ia memandang sepatunya dan menggerakkannya ke depan, ke belakang sambil menunggu hujan reda.

"Kok belum pulang?" Sebuah suara mengagetkan Anisa.

Anisa mendongak dan melihat Ronald di hadapannya. "Eh, Ronald, lagi nungguin hujan reda," ucap Anisa sambil tersenyum. "Lo kok belum pulang juga?" tanyanya.

"Iya, habis ngurusin LPJ acara tadi, untungnya masalah kemarin malam gak berimbas ke acara hari ini," ucap Ronald.

Anisa mengangguk. " Iya, untungnya anak-anak yang lain heboh dan gemparnya gak berkelanjutan."

Ronald tersenyum lalu duduk di samping Anisa. "Gue mau ngomong penting sama lo, Sa."

"Tentang?"

"Misteri temaram, hubungan antara cahaya temaram lilin dan sekolahan ini," ucap Ronald.

Anisa menoleh, pembahasan yang menarik menurut Anisa.

"Lo sejak kapan bisa lihat hantu?" tanya Ronald.

"Tepatnya gue lupa, yang jelas, waktu gue masih kecil, kenapa?"

"Waktu kita lembur, ternyata ada yang nyalain lilin dan ngelanggar peraturan yang disampaikan Pak Robin."

"Siapa?"

"Rani sama Aita, dia menganggap ucapan Pak Robin hanya angin lalu, mereka nggak tahu, bahwa dia datang karena cahaya temaram lilin, setelah mereka menyalakan lilin, teror pun dimulai, mereka yang cerita, hingga puncaknya, lo hilang, diculik Pak Robin dan mau dibunuh sama seseorang yang memakai pakaian hitam-hitam kemarin."

Anisa tersenyum. "Berarti yang diucapkan calon pembunuh gue kemarin bener, kalau ada yang nyalain lilin di sekolah."

"Iya, untungnya masalah itu udah selesai," ucap Ronald.

Anisa menggeleng. "Masalah belum selesai, siapa pembunuh Idha belum ditangkap, apa penyebab Pak Robin culik gue, mengapa Idha membunuh Rahma, masalah ini belum selesai, Ron, namun kepingan-kepingan jawaban dari masalah itu perlahan terungkap."

"Lo mau membereskan masalah ini?"

Anisa mengangguk. "Iya, walaupun akhirnya bakalan kehilangan sahabat gue, Rahma. Dia masih berada di dunia ini karena belum menemukan kebenaran dari kematiannya." Anisa memejamkan matanya. "Gue mau bantu Rahma dan Idha, tapi, satu sisi gue gak mau kehilangan Rahma."

Ronald menepuk pundah Anisa untuk menenangkannya. "Gue bakalan bantuin kalau lo mau ngungkap masalah ini," ucap Ronald.

Anisa tersenyum. "Makasih, Ron."

Ronald mengangguk.

Anisa bangkit dari duduknya. "Udah sore, gimana nih, hujannya belum reda?" ucap Anisa sambil mengarahkan tangannya ke arah hujan untuk menampung air di telapak tanganya.

"Lo nggak dijemput?" tanya Ronald.

Anisa menggeleng.

"Nebeng gue aja," ajak Ronald.

"Anisa, Ronald." Sebuah suara memanggil mereka, mereka pun menoleh ke sumber suara.

Suara itu milik Pak Robin.

Ronald dan Anisa memberikan tatapan tak suka pada pria paruh baya tersebut.

"Saya mau bicara hal penting pada kalian."

"Hal penting apa? Pengakuan kalau Anda yang membunuh Idha?" tanya Ronald sarkastis.

"Ronald," panggil Anisa mengingatkan. "Anda bisa mengatakan apa yang ingin Anda katakan sekarang."

Pria paruh baya itu berjalan mendekat. "Maaf sebelumnya, saya mengakui, kalau yang menculik Anisa itu saya, tapi, itu demi kebaikan Anisa."

Ronald tertawa sumbang. "Menculik demi kebaikan Anisa? Yang benar saja," ucapnya tak percaya.

"Memang saya yang menculik Anisa, tapi bukan saya yang membunuh Idha, saya menculik Anisa karena tak mau kejadian yang menimpa Idha menimpa Anisa juga."

"Maksud Anda?" tanya Anisa.

"Saya melindungi kamu dari orang yang ingin membunuhmu, orang itu adalah yang membunuh Idha."

"Lalu, siapa pembunuh Idha dan mengapa ingin membunuh Anisa juga?" tanya Ronald.

"Saya tidak bisa mengatakan, siapa yang membunuh Idha, karena kalian pasti tidak percaya pada saya," ucapnya. "Orang itu membunuh orang yang saya sukai."

Pernyataan barusan membuat Anisa dan Ronald melebarkan matanya kaget.

"Maksud Anda! Berarti Anda menyukai Anisa?" tanya Ronald tak terima.

"Iya."

Anisa mundur satu langkah menjauhi kepala sekolahnya itu.

"Mengapa bisa begitu?" Ronald penasaran.

"Karena pembunuh Idha itu ingin balas dendam," jawabnya.

"Hujan sudah terang, kalian segeralah pulang, hari sudah sangat sore," ucapnya lalu meninggalkan Anisa dan Ronald dengan berbagai macam pemikiran yang baru.

Pengakuan dari Pak Robin itu seperti menemukan beberapa kepingan puzzle dan menyatukannya, namun belum utuh dan jelas karena belum semuanya ditemukan dan disatukan.

**********


Maaf kalau cerita ini kurang bagus 😊

#18 April 2017

Misteri Temaram (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang