10. Kepingan Penyelesaian 2

3.7K 503 12
                                    


Minggu, 11 Desember 2016
Jam 06.00 WIB.

Rahma menatap punggung Anisa yang sedang memasak dengan bingung, ia tak mengerti, mengapa Anisa tidak memedulikannya.

Semenjak kemarin malam, setelah Anisa bangun dari mimpi buruknya, ia tak pernah memedulikan Rahma sama sekali, memandang Rahma pun enggan. Ia berpura-pura tak melihat Rahma.

"Sa," panggil Rahma sambil mendekat.

Anisa mendengar panggilan Rahma, namun ia berpura-pura tak mendengarnya.

Anisa menutup matanya sambil mengambil napas dalam.

Sakit.

Anisa merasakan sakit yang teramat dalam.

"Sa, lo kenapa sih? Gue punya salah? Kenapa lo cuekin gue gini?"

Anisa membuka matanya dan pergi ke kamarnya, tanpa menjawab pertanyaan Rahma.

Anisa membanting pintu kamarnya dengan keras, hingga menimbulkan suara dentuman yang keras, Rahma terkejut dan menatap pintu itu dengan tatapan antara sedih bercampur bingung.

Rahma tak tahu, mengapa Anisa bersikap demikian, yang ia tahu, Anisa marah padanya, untuk kali pertamanya Anisa marah padanya sampai seperti ini.

Namun, ada satu hal yang tidak diketahui oleh Rahma.

Anisa tak marah padanya, namun, Anisa hanya mempersiapkan hati dan membiasakan diri tanpa kehadiran Rahma.

Walaupun sangat sulit bagi Anisa.

Namun ia harus merelakan Rahma pergi. Merelakan sahabat yang sudah lama bersamanya itu pergi.

Tubuh Anisa jatuh terkulai, ia bersandar di pintu kamarnya.

Ia menekuk kedua kakinya, memeluknya erat, dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya tadi.

Tuhan, haruskah Anisa kehilangan Rahma? Sosok yang menemaninya sejak ia masuk SMA?

***

"Ron, Ronald," bisik Rahma tepat di telinga Ronald, ia masih tidur.

Ronald mengubah cara tidurnya membelakangi Rahma.

Rahma mendengus sebal, namun, ia tak akan menyerah semudah itu, ia kembali berbisik di telinga Ronald.

"Ron, gue ada kabar penting, ada yang salah sama Anisa," ucap Rahma pada akhirnya karena Ronald tak kunjung bangun.

Mendengar nama Anisa di sebut, ia pun bangkit dari tidurnya.

"Kenapa Anisa?" tanya Ronald, masih dengan muka bantalnya.

Dalam hati Rahma menyumpah serapahi Ronald karena mendengar nama Anisa, ia langsung bangun, padahal sedari tadi ia membangunkannya, namun tak ada respon.

"Anisa, dia berubah," ucap Rahma ambigu.

"Maksudnya? Berubah gimana?"

"Mending lo lihat sendiri aja, mending lo mandi, terus ke rumah Anisa."

Ronald bangkit dari tidurnya dan berjalan gontai menuju kamar mandi.

***

25 menit berlalu, di sinilah Ronald berada, di rumah Anisa, duduk di ruang tamu bersama Anisa.

"Ada apa?" tanya Anisa dengan suara serak karena menangis tadi.

"Lo habis nangis, Sa?" tanya Ronald melihat mata Anisa merah dan sedikit berair, suaranya juga serak, khas seperti orang habis menangis.

"Gak penting buat lo!" ketus Anisa.

Ronald sedikit terkejut karena jawaban Anisa yang ketus tadi. Tak seperti Anisa biasanya.

Benar kata Rahma, ada yang salah dengan Anisa.

"Gue perlu ngomong sama lo."

"Ngomong aja, cepetan!"

"Lo itu kenapa sih, Sa? Lo ada masalah sama Rahma?"

"Kenapa apanya sih? Kalau mau ngomong yang gak penting, mending lo pulang aja, gue capek! Pengen tidur!" jawab Anisa lalu berdiri, hendak beranjak, namun Ronald menahan tangannya.

"LEPASIN GUE!" teriak Anisa, ia memberontak.

"Lo kenapa sih, Sa? Kenapa lo marah-marah? Gue ngomong baik-baik tapi lo giniin! Kalau ada masalah itu diselesaiin, bukan malah lari dari masalah kayak gini! Jangan jadi kayak anak kecil yang bisanya lari dari masalah!" ucap Ronald kesal.

"Lepasin gue!"

Bukannya malah melepaskan Anisa, Ronald malah menarik Anisa mendekat dan memeluknya.

"Lepasin!" Anisa memberontak.

Ronald mengeratkan pelukannya. "Kalau ada masalah, ceritain aja, Sa.  Gue siap dengerin," ucap Ronald lembut.

Tangan Anisa yang tadi sedang memberontak kini melemas.

Sederet kalimat yang keluar dari mulut Ronald tadi bagaikan serangan telak bagi tameng Anisa.

Matanya memanas, tangisnya siap meluncur dalam sekali kedipan mata.

"Gue gak ada masalah sama Rahma, Ron," lirih Anisa.

Ia berkedip, air matanya pun menetes. Ronald yang merasakan air mata Anisa menetes dibahunya tertegun dan berpikir apakah ia tadi berkata terlalu kasar pada Anisa.

"Sa, maaf kalau gue ngomong kasar sama lo," ucap Ronald merasa bersalah.

Anisa menggeleng. "Bukan salah lo, Ron, bukan, semua ini salah gue, gue, Ron! Gue yang salah!" ucap Anisa.

Ronald melepaskan pelukannya dan berdiri menghadap Anisa.

"Jangan nangis, Sa," ucap Ronald sambil menghapus air mata di pipi Anisa.

"Gue cuman gak siap kalau harus kehilangan Rahma, Ron, gue gak siap!" ucap Anisa.

Ronald merengkuh Anisa ke dalam pelukannya.

"Rahma bakal ninggalin gue, Ron! Pernah gak sih, lo ditinggalin sama sahabat lo, kalau pernah, lo pasti tahu, sakitnya ditinggal sahabat yang udah kayak keluarga sendiri."

"Dia nggak akan ninggalin lo kok, Sa," ucap Ronald menenangkan Anisa

"Lo gak ngerti apa-apa, Ron! Dia bakalan ninggalin gue karena gue udah tahu semuanya, tentang penyebab dia meninggal sampai penyebab Idha meninggal, semuanya! Lo boleh anggep gue lebay, tapi kalau seandainya lo jadi gue, apa yang bakalan lo lakuin?" tanya Anisa.

Ronald melepaskan pelukannya dan menatap Anisa. "Maksudnya?"

"Asal lo tahu, alasan Rahma masih ada di dunia ini adalah karena dia nggak tahu penyebab sebenernya dia meninggal! Dan kalau gue ceritain dan mengungkap apa penyebab Rahma meninggal, ia akan pergi dari dunia ini, dan gue gak mau itu terjadi, karena nggak ada orang yang baik-baik aja saat ditinggal orang yang dia sayang!"

Ronald mencengkram bahu Anisa. "Sa, sadar! Rahma itu udah berbeda dunia sama kita, dia itu sudah meninggal."

"Tapi-"

Ronald melonggarkan cengkraman tangannya di bahu Anisa. "Sudah seharusnya dia pergi dan beristirahat dengan tenang, Sa, lo sayang sama Rahma, 'kan? Biarkan dia pergi, Sa, jangan egois," potong Ronald.

Anisa mengangguk dan memejamkan matanya. "Lo bener, Ron, gue terlalu egois."

Anisa mengembuskan napas berat. "Gue bakal mengungkapkan kebenaran dari kematian Rahma, kematian Idha, karena kematian mereka saling berhubungan,-" Anisa menjeda kalimatnya. "Dan gue bakalan merelakan Rahma pergi," lanjut Anisa sambi tersenyum.

Sedangkan di balik tembok, Rahma sedari tadi mendengarkan percakapan antara Anisa dan Ronald terdiam dan menutup mata, menikmati perasaannya yang sedang berkecamuk.

**********

Maaf kalau cerita ini kurang menarik guys. Yang penting aku sudah berusaha.

Chapter selanjutnya semoga lebih baik lagi.

#26 April 2017

Misteri Temaram (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang