Bab // 5

8.5K 735 38
                                    

Keesokan sorenya Kenar dan Ayu mengunjungi aula desa. Mereka tertawa bersama sambil bercerita tentang kelakuan teman-teman kampus mereka.

"Lo tau kan kalo si Adam lagi pedekate sama Cantika." ucap Ayu.

"Iya. Tapi si Cantika juga mau deh kayaknya." ucap Kenar.

"Iya. Cantika juga suka sama Adam. Tapi Cantika sengaja jual mahal, dia mau liat sejauh mana Adam perjuangin cintanya." ucap Ayu.

Kenar tertawa. "Ada-ada aja si Ayu. Tapi...bagus juga si ya, buat ngetes gitu." ucap Kenar.

"Kalo lo, sapa yang lo taksir di kampus?" tanya Ayu.

Kenar terdiam sebentar lalu menggelengkan kepala. "Gak ada." jawabnya.

"Lo aja kali yang gak mau." ucap Ayu menyikut lengan Kenar.

"Gak mau sakit hati dulu. Kesian jantung gue belum siep buat di ancurin lagi." ucap Kenar.

"Mungkin dengan ada yang lain, jantung lo yang sempet ancur bisa kembali berbunga-bunga."

Kenar tertawa.

"Bahagia sekali neng, bagi-bagi dong."

Langkah Kenar dan Ayu terhenti ketika seorang pria menyapa mereka.

"Jangan ganggu kami." ucap Ayu sinis.

"Aku hanya menegur Ayu sayang, jangan galak begitu dong. Nanti cantiknya hilang. Temanmu ini cantik, kenalin Yu."

"Sudahlah Satta. Jangan halangi jalan kami." ucap Ayu.

"Perkenalkan, nama saya Satta." pria itu mengenalkan dirinya pada Kenar.

"Kenar." ucap Kenar menyambut uluran tangan pria itu.

"Nama yang cantik, secantik orangnya." puji Satta.

"Sudah. Kita pergi saja." Ayu menarik lengan Kenar meninggalkan pria itu di belakangnya.

"Jangan cemburu begitu Yu, masmu ini masih menunggu cintamu." teriak Satta.

"Bener lo cemburu?" tanya Kenar.

"Diam." Kenar tertawa melihat wajah cemberut Ayu.

"Cerita aja Yu. Gue bakal jadi pendengar yang baik." ucap Kenar.

"Sialan lo." Ayu mendorong bahu Kenar pelan membuat Kenar semakin tertawa kencang.

Suasana di aula desa terlihat cukup ramai oleh anak-anak. Bunyi Saron dan beberapa alat musik tradisional terdengar saat kenar dan Ayu baru memasuki halaman Aula.

Mereka langsung mendapat sambutan dari anak-anak. Kenar melihat kedekatan Ayu dengan anak-anak itu, ia tersenyum senang memiliki sahabat seperti Ayu.

"Selamat sore ndhuk."

"Eh, selamat sore mbah Sarti." ucap Ayu dan Kenar. Mbah Sarti menghampiri mereka dengan senyum khasnya.

"Mari ikut bergabung." ajak mbah Sarti.

Kenar dan Ayu mengikuti mbah Sarti ke tengah aula. Anak-anak duduk manis di depan mbah Sarti.

"Maaf aku terlambat." seorang pria muda dengan kulit sawo matang, hidung mancung dan senyum manisnya datang dan langsung duduk di samping mbah Sarti.

"Kenapa terlambat?" tanya mbah Sarti.

"Maaf mbah, tadi saya ke rumah pak lek Guno. Beberapa kambingnya mati."

Mbah Sarti nampak mengerutkan dahi. "Mati kenapa?" tanyanya.

"Gak tahu mbah. Ada Ayu dan...temannya ya?" ucap pemuda itu.

"Ini teman kuliahku Dierja, perkenalkan namanya Kenar." Ayu mengenalkan Kenar pada Dirja.

"Kenar."

"Dierja."

Entah kenapa ada perasaan lain yang merayap di hati Kenar ketika tangan coklat nan kekar itu menyalami tangannya. Hanya bersalaman dan pria itu, Dierja hanya menyentuh tangannya pelan dan menariknya dengan cepat. Hanya seperti itu saja jantung Kenar sudah berdebar kencang.

Kenar bahkan tidak bisa memalingkan wajahnya dari Dierja. Di perhatikannya setiap ucapan dan bagaimana Dierja mengajari anak-anak laki-laki memainkan Saron.

Kenar tidak tahu saat Ayu dan mbah Sarti pun sudah memulai latihan untuk mengajar tari di sisi yang lain. Kenar terpukau, pria itu menarik seluruh perhatiannya.

Terlambat, Kenar belum sempat berpaling ketika Dierja menoleh ke arahnya dan tersenyum, namun tak lama karena senyuman Dierja hilang berganti dengan kerutan di dahi.

Dierja tersenyum pada Kenar sembari menganggukkan kepala. Dasar Kenar yang terlalu pangling hingga jangankan tersenyum, menarik sudut bibirnya sedikit saja dia tidak bisa.Dierja pasti berpikir kalau dia aneh.

Kenar segera menyusul Ayu ke tempat latihan menari.

"Lo ngapain pelototin si Dierja terus?" tanya Ayu.

"Siapa? Enggak kok." bela Kenar. Ayu mencebik sambil melanjutkan gerakannya.

Kenar mengambil tempat duduk dan memperhatikan Ayu dan juga mbah Sarti yang sedang mengajar. Kaki Kenar bergerak-gerak mengikuti suara musik. Tangannya mengepal keras, menahan dirinya untuk tidak bergabung dalam barisan anak-anak itu, ikut menari dengan sepenuh jiwa.

"Minum?" Kenar menoleh, Dierja menawarkan sebotol air mineral padanya.

"Te.terima kasih." ucap Kenar terbata.

Sial. Kenapa gue jadi gugup begini.

"Kamu tidak mau ikut belajar menari?" tanya Dierja.

Kenar menggeleng karena sekarang ia sedang meminum airnya. Ia butuh air agar tenggorokannya tidak kering.

"Tadi ku lihat kakimu ikut bergerak-gerak." ucapnya.

"I...itu, lagunya bagus." ucap Kenar.

Dierja tersenyum. "Kamu sudah berkeliling kampung?"

"Belum sempat."

"Aku bisa mengajakmu berkeliling."

"Apa tidak merepotkan?"

"Untuk gadis ayu seperti kamu, ndhak apa-apa."

"Apa saja yang ada di sini?" tanya Kenar dengan hati berdebar.

"Kamu sudah ke sungai?"

"Sudah."

"Di dekat sungai itu ada taman bunga. Bunga biasa sih, tujuannya untuk mengusir burung. Tapi sangat indah, apalagi sore hari." ucap Dierja.

"Kapan?"

"Besok sore juga bisa."

"Baiklah."

***

Maafkan typo Luph u phul 😘


NARIK SUKMO (TERSEDIA DI GRAMEDIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang