Bab // 8

7.5K 761 72
                                    

Tung...

Tung...

Kenar membuka mata.

Tung....

Kembali suara itu terdengar. Kenar menoleh melihat Ayu tidur dengan nyenyaknya. Kenar menghela napas berat. Ia menarik selimutnya tinggi-tinggi kemudian berusaha memejamkan mata.

Tung...

Tung...

Tung...

Lagi.

Suara itu seperti suara tembok yang di pukul-pukul menimbulkan suara berdengung membuat Kenar semakin memejamkan mata, mengerat selimutnya dengan kuat.

Tap.

Tap.

Kenar menajamkan pendengarannya,di depan kamar, langkah kaki itu semakin jelas terdengar.

"Yu," Kenar berusaha membangunkan Ayu dengan menggoyang bahunya.

"Yu, bangun." ucap kenar ketakutan.

Tap.

Tap.

Tap.

"Ahhh," pekik Kenar. Ia langsung menutup mulut. Pandangannya tertuju pada pintu kamar. Bayangan kaki seseorang berdiri di depan kamar membuat jantungnya berdetak cepat.

Bayangan kaki itu masih di sana, tidak beranjak sama sekali. Tangan Kenar menggoyang-goyang bahu ayu.

"Bangun Yu," batin Kenar.

Klek.

Klek.

Klek.

Gagang pintu kamar bergerak-gerak, seseorang di luar sana berusaha masuk. Kenar menempelkan tubuhnya ke tembok di belakangya.

Tap.

Tap.

Tap.

"Huft," Kenar bernapas lega saat langkah kaki itu terdengar menjauh dari pintu kamarnya.

"Oh sial," ucap Kenar kesal. Saat-saat seperti ini kenapa ia kebelet ingin pipis. Kamar mandi ada di belakang rumah, dekat dengan dapur.

"Ayu, Ayu...ba...ngun." ucap Kenar berusaha membangunkan Ayu yang sama sekali tidak bergerak. Dengkuran halus terdengar dari bibir tipis gadis itu.

"Iiihhh," Kenar kesal, benci pada Ayu yang tidur seperti kebo. Kalau sudah begini dia harus keluar sendiri.

Kenar meraih ponselnya. Jam dua dini hari. Ia menimbang-nimbang apakah akan ke kamar mandi atau tidak.

"Shit," maki Kenar. Ia turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu. Ia sudah tidak tahan lagi. Di luar pasti tidak ada apa-apa. Tadi mungkin ibunya Ayu hendak masuk, memeriksa dua anak gadis di rumahnya sudah tisur atau belum.

Kenar terus mensugesti dirinya hingga ia berada di dalam kamar mandi. Setelah menyelesaikan ritual pipisnya ia segera berjalan kembali ke kamar. Namun, saat ia melewati dapur ia berhenti.

Ia mundur beberapa langkah kemudian menoleh ke dalam dapur.

"Nenek itu," gumam Kenar.

Blug blug blug.

Suara air mendidih di atas kompor terdengar. Kenar memperhatikan nenek itu tengah menuang gula ke dalam gelas. Dengan rasa penasaran yang tinggi di tengah ketakutannya Kenar melangkahkan kaki ke dalam dapur, menghampiri sang nenek yang sudah menuang air panas ke dalam dua gelas teh.

"Ne.nek," panggil Kenar pelan, hampir berbisik dan terbata.

"Duduklah," ucap nenek itu datar tanpa menoleh ke arah Kenar.

Srek.

Kursi kayu itu di tarik ke belakang, Kenar duduk tepat di depan nenek itu, meraih teh panas yang di sodorkan padanya.

"Nenek siapa?" tanya Kenar.

Nenek itu tersenyum tipis. Hampir tidak terlihat di bawah temaramnya lampu.

"Mbah Rahmi." ucap nenek itu dengan suara seraknya khas nenek-nenek.

Kenar merasakan kepalanya sangat berat namun ia masih menyadari kepalanya yang mengangguk samar, menatap nenek Rahmi menengguk tehnya pelan dan...masih dengan asap yang mengepul.

Kenar menenggak ludah. Aura mencekam itu semakin terasa ketika nenek itu kembali berbicara, nenek itu berbicara dalam bahasa jawa yang pasti tidak akan di mengerti olehnya, tapi entah kenapa ia seolah mengerti. Nenek Rahmi ini kemudian berkata dengan suaranya yang mampu membuat bulu kuduk merinding.

"Kudune kowe ora bali neng kene. Opo sing wis kependem arep tangi. Opo sing wis kesegel arep kebukak. Sukmo sing wis digadekne arep njaluk tebusane.

Trisno Pati arep nuntut bukti ning salah sijining wengi karo loro Purnama. Saiki gerhana bulan abang lan gerhana bulan biru njedul neng dhuwur deso Kelawangin.

Nengdi kabeh nyowo lan awakmu keraket, nganti pati misahke."

(Seharusnya kau tidak kembali ke sini. Apa yang sudah terkubur akan bangkit. Apa yang sudah tersegel akan terbuka. Jiwa yang tergadaikan akan meminta penebusannya.

Cinta mati akan menuntut pembuktian di satu malam dengan dua purnama. Saat gerhana bulan merah dan gerhana bulan biru muncul di atas desa kelawangin.

Dimana seluruh jiwa ragamu terikat,sampai maut memisahkan)

Setelah mengatakan itu tiba-tiba nenek Rahmi menghilang. Kenar berjengkit, ia tersadar. Matanya mencari-cari di sekitar dapur namun keberadaan nenek itu tidak juga ia temukan.

"Nek..." panggil Kenar lirih hampir berupa desisan. Ia memukul-mukul pelan tubuhnya karena merinding. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya.

"Nak Kenar,"

Kenar langsung menoleh. Ketakutan jelas terpancar di wajahnya.

"I...ibu..." ucapnya.

"Sedang apa disini?" tanya Seruni heran dengan tatapan menyelidik. Tatapan Seruni jatuh pada gelas teh di di genggaman Kenar. Ia memegangnya terlalu erat. Lalu pandangan Seruni jatuh pada gelas di sebrang meja Kenar. Gelas teh yang masih dengan isinya setengah.

"Kamu minum teh bersama siapa ndhuk?"

Kenar dengan wajah bingungnya menenggak ludah. Tengkorokannya tiba-tiba kering. Tatapannya pun beralih pada gelas teh di depannya. Gelas yang masih bersisa setengah itu masih mengepul.

Bagaimana nenek Rahmi bisa meminumnya? Apa lidahnya tidak terbakar?

"Ndhuk," panggil Seruni melihat Kenar yang kebingungan dengan peluh di wajahnya yang pucat.

"Tadi, aku...aku,"

Kenar tidak bisa berbicara. Suaranya seperti menghilang. Seruni heran, dengan siapa Kenar minum teh tengah malam seperti ini.

Seruni mengangkat gelas di depan Kenar kemudian kembali bertanya.

"Boleh aku tahu dengan siapa ndhuk?"

"Tadi...aku...bersama nenek Rahmi."

Praanggg.

Gelas di tangan Seruni jatuh menimbulkan suara yang nyaring di keheningan malam. Kenar terkejut tentu saja. Tapi bukan itu yang membuatnya takut. Ia justru takut melihat ketakutan yang sangat nyata di wajah Seruni.

***

Met malem jumat guys

Luph u phul from some one in d'dark 😨

NARIK SUKMO (TERSEDIA DI GRAMEDIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang