Bab // 25

6.9K 702 99
                                    

Desa Kelawangin, desa yang terkenal dengan hasil padi yang selalu melimpah. Desa dengan keindahan alam yang luar biasa indah. Sungai yang jernih dan bersih berasal dari gunung Lawu adalah anugrah besar bagi Kelawangin, belum lagi hutan Kelawangin yang lebat nan hijau.

Hutan yang hingga kini belum di ketahui luasnya. Pepohonan-pepohonan besar menjulang tinggi, seolah menjadi benteng.

Hutan, yang bahkan terlarang bagi warga desa kelawangin. Mereka hanya memasuki bagian luar hutan pada saat acara ritual desa di laksanakan.

Setiap tiga bulan sekali, warga Kelawangin akan melaksanakan pesta rakyat. Pesta dengan berbagai macam hiburan dan bazar, tanpa ada yang menyadari bahwa sebuah ritual tersembunyi dilakukan para tetua desa itu. Ritual untuk menolak terlaksananya sebuah kutukan, sejak bertahun-tahun yang lalu...Kelawangin menyimpan sebuah rahasia besar.

"Apa Bu lek sama pak lek tahu, kalau kamu keluar sama aku?" tanya Dierja. Mereka kini tengah dalam perjalanan menuju aula.

Tentu saja, menggunakan sepeda antik milik Dierja. Kenar heran, dan baru menyadari bahwa sebagian besar warga kelawangin menggunakan sepeda sebagai kendaraan mereka. Walaupun ada beberapa yang memiliki mobil, itupun mobil jenis lama dan juga mobil untuk muatan barang.

Mobil yang digunakan untuk mengangkut gabah, dari sawah ke rumah maupun ke tempat penggilingan padi.

"Aku sudah memberitahu Ayu." Ucap Kenar. Untuk beberapa saat Kenar terdiam sembari merapikan rambutnya yang tertiup angin. "Oya," ujar Kenar. "Tarian narik sukmo itu salah satu tarian jawa ya? Aku nggak pernah mendengar tarian itu sebelumnya." tanya Kenar.

Butuh waktu beberapa detik bagi Dierja untuk menjawab pertanyaan Kenar, karena sekarang ia sedang mempertahankan laju sepedanya menuruni jalan yang menurun.

Kenarpun tidak menuntut Dierja menjawab pertanyaannya langsung. Ia justru nampak mengagumi hamparan sawah di sekelilingnya. Sebelumnya Kenar tidak pernah melewati jalan ini, dan jalan setapak yang di apit hamparan padi yang hijau memuaskan pandangannya.

"Tarian narik sukmo itu hanya milik desa Kelawangin." Ucapan Dierja mengalihkan keterpesonaan Kenar akan desa itu. Ia menatap punggung Dierja yang nampak kekar di belakangnya.

"Bagaimana bisa?" tanya Kenar.

"Bisa saja." ucap Dierja sambil terus mengayuh sepedanya. Sepertinya jalan yang di ambil Dierja sedikit lebih jauh dari jalan yang mereka lewati pertama kali. Jalanan ini lebih bagus dari jalan pertama yang biasa mereka lalui.

"Tarian narik sukmo ini, dulu adalah tarian yang di ciptakan oleh sepasang kekasih yang berasal dari desa kelawangin. Mereka saling mencintai, memuja satu sama lain. Mereka menciptakan narik sukmo dengan nyanyian dan musik yang di ciptakan dari hati mereka.

Membuat para wanita dan laki-laki lainnya menjadi cemburu dan juga iri."

Kenar melihat gerbang aula sudah dekat dan tidak lama mereka pun turun dari sepeda dan melangkah menuju aula yang terlihat sepi. Dierja belum menyelesaikan ceritanya tapi dia sudah menarik Kenar ke dalam aula.

"Apa hari ini tidak ada latihan?" tanya Kenar.

"Harusnya ada. Nanti mereka pasti datang." ucap Dierja.

Kenar mengangguk, ia duduk di sebuah kursi begitu melihat Dierja menyuruhnya duduk menggunakan tangan sebagai isyarat.

Kenar menatap sekeliling aula. Aula yang terlalu besar untuk sebuah desa pikirnya. Beberapa alat-alat kesenian tertata di pinggiran ruangan.

Kenar merasakan sesuatu. Selalu. Jika ia berada di dalam aula. Sebuah perasaan takut yang membuatnya merinding, sebuah perasaan yang membuatnya merasa tidak asing dengan tempat ini. Sebuah perasaan rindu, sesak dan menenangkan.

Entah, bagaimana Kenar mendeskripsikan perasaannya. Ia sangat tertarik dengan tarian narik sukmo dan sejarah yang baru ia dengar sedikit dari Dierja. Jiwa penarinya muncul. Setelah sekian lama ia tidak pernah berlatih.

Mungkin setelah mempelajari tarian narik sukmo, ia akan kembali menari nanti.

"Pakai ini." Dierja menyerahkan sebuah kain panjang dan selendang.  Kenar meraihnya, menggunakan kain panjang itu sebagai roknya kemudian melilitkan selendang di pinggangnya. Dierja mendekati Kenar, tatapan tajam Dierja membuat dada Kenar berdegup kencang.

Dierja terus menatap Kenar ketika kedua tangannya memegang rambut hitam Kenar, ia mengumpulkan rambut Kenar yang terurai kemudian mengikatnya menggunakan karet gelang. Posisi yang begitu dekat membuat Kenar membeku. Di tambah tatapan Dierja yang sangat intens padanya.

"Rileks." bisik Dierja di telinga Kenar. Bukannya rileks, tubuh Kenar malah berdesir. Hembusan napas Dierja di telinganya membuatnya kacau.

Dierja yang menjauh untuk menyalakan sebuah musik memberi Kenar untuk menghirup napas sebanyak-banyaknya. Kenar bahkan tidak menyadari ternyata musik tarian sukmo ada yang berbentuk kaset. Ia pikir hanya ada dari permainan musik tradisional langsung.

"Ayo, mendekatlah kemari." ucap Dierja yang sudah berada di tengah ruangan.

Alunan musik khas jawa mulai mengalun. Dierja mulai menunjukkan gerakan-gerakan awal sebuah tarian. Kenar mengikuti pelan-pelan gerakan Dierja. Kenar memekik ketika Dierja menarik tubuhnya hingga menempel dengan tubuhnya. Dierja dengan luwesnya memegang lengan kiri Kenar, meletakkannya lebih rendah dari bahunya sedang lengan kanannya terangkat lebih tinggi.

Posisinya yang membelakangi Dierja membuat Kenar bersyukur, laki-laki ini tidak melihat wajahnya yang kini merona tidak jelas.

Selanjutnya Kenar membeku, ia yang sejak awal sibuk mengatur degupan jantungnya tidak menyadari nyanyian yang mengiringi tariannya.

..............Pepujanku
Sliramu lintang jroning uripku
Sakkabehing geguyumu kuwi ambeganku
Jantung iki tansah deg-degan pas mripat ayumu nyawang aku kebak kangen............

Dierja meghiraukan tubuh Kenar yang membeku. Ia terlihat larut dalam tarian ataupun lagu itu. Meski tubuh Kenar kaku dalam dekapannya ia terus bergerak membimbing Kenar.

Kenar memejamkan mata sedang mulutnya memekik dalam diam begitu Dierja menundukkan kepalanya, menyentuh telinga Kenar menggunakan ujung hidungnya kemudian berbisik dengan suara yang terdengar sangat lirih, berat, dan dingin.

"Pepujanku."


***

Pepujan-pepujanku follow IG ku yah

Dewie_Sofia

😉






NARIK SUKMO (TERSEDIA DI GRAMEDIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang